Kemaren kami para guru dihebohkan dengan penampakan nama Jokowi di Soal Ujian Nasional (UN) Bahasa Indonesia untuk tingkat SMA. Banyak yang berpendapat masuknya nama Jokowi adalah bentuk kampanye terselubung, sebab siswa-siswi SMA tersebut rata-rata adalah pemilih pemula. Apapun alasannya, pencatutan nama Jokowi di soal Ujian berskala Nasional tidaklah elok, sebab negeri ini belum kekurangan stok nama-nama pahlawan nasional yang bisa dijadikan wacana. Tapi, ya sudahlah...
Hari ini, di Facebook teman adalagi kejutan baru. Soal UN untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Yaspika, Karimun dengan jurusan Akutansi dan Pemasaran, soal yang datang malah soal SMK Teknologi. Tentunya seyogyanya UN yang harusnya berlangsung pukul 08.00 WIB harus ditunda. Menunggu panitia UN tingkat Kabupaten mengatasi masalah tersebut.
Usut punya usut ternyata kesalahan bukan di Kabupaten tapi dari pusat atau dari Rayon percetakan soal UN untuk Kepri. Karena ketika ditanyakan ke sekolah-sekolah SMK Teknologi yang ada di Kabupaten Karimun seperti SMKN 1 Karimun, SMKN 1 Kundur, dan SMKN 1 Moro, tidak ada soal tertukar. Akhirnya diambil Kebijakan, soal dari SMK sejenis yaitu dari SMK Vidya Sasana di copy dan Ujian tetap dilaksanakan pada hari itu diundur mulai jam 10.00 WIB.
Ternyata masalah soal-soal tertukar itu bukan hanya di SMK itu saja, tapi banyak lagi sekolah-sekolah lainnya yang kasusnya sama. Nah, pernyataan Menteri Mohammad Nuh bahwa UN Tahun ini tidak ada masalah ternyata hanya isapan jempol belaka. Walau tidak separah tahun lalu, yang UN nya ditunda berhari-hari karena soalnya terlambat datang di berbagai daerah, tapi kasus ini cukup menegaskan kepada kita bahwa mengelola UN berskala Nasional itu memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Laporan lainnya, selain kasus lolosnya nama Jokowi, soal UN tertukar, persoalan klasik kecurangan di banyak sekolah di tanah air ternyata tetap saja terjadi. Mulai dari kunci soal yang beredar, main mata antara pengawas dan pihak sekolah dan sebagainya, adalah bukti bahwa pemerintah tidak siap melaksanakan UN yang jujur dan tanpa masalah.
Apa jadinya UN tetap terus dilaksanakan tiap tahun tanpa ada solusi yang tepat untuk mengatasi kecurangan, dan masalah lainnya. Mungkin sudah waktunya UN di stop pelaksanaanya dan diganti dengan metode lain untuk mengukur standar mutu pendidikan Indonesia dari tahun ke tahun.
Apalagi, kini UN sudah masuk ranah "politik" untuk mengukur kinerja pemimpin daerah, pejabat daerah, dan perwakilan birokrasi di daerah, sehingga akhirnya gubernur , bupati/walikota, kepala dinas, serta mau tidak mau kepala sekolah dan guru pun harus ikut berusaha sekuat tenaga apapun caranya agar hasil UN di daerahnya terlihat tinggi walau harus dengan memanipulasi dan melakukan kecurangan. Dan ini berarti penyelenggaraan UN sudah menyimpang jauh dari tujuannya. Jadi untuk apa lagi dilaksanakan!
Sebenarnya banyak indikator yang bisa dijadikan rujukan untuk melihat mutu pendidikan Indonesia dari tahun ke tahun tanpa harus melaksanakan UN yang banyak biayanya tersebut. Tapi, karena banyak yang "mencari makan" disana ya tetap saja dilaksanakan. Padahal diseluruh pelosok negeri ini masih banyak sekolah yang belum layak, fasilitas tidak lengkap, kekurangan guru, terisolir dan lain sebagainya.
Entahlah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H