Mohon tunggu...
Mustafa Kamal
Mustafa Kamal Mohon Tunggu... Guru - Seorang akademisi di bidang kimia dan pertanian, penyuka dunia sastra dan seni serta pemerhati masalah sosial

Abdinegara/Apa adanya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Kartini RTC] Mardiana

19 April 2015   22:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Oleh: Mustafa Kamal # nomor urut 84.

Mardiana terbatuk-batuk di dapur. Nafasnya terasa berat. Asma yang dihidapnya makin parah.Sembari menunggu nasi masak. Tangan kurusnya memotong-motong kecil rebung pisang yang diambilnya dari kebun belakang rumah. Dari sudut matanyasebutir airmata jatuh. Dalam benaknya membayang nasib lima anaknya yang masih sekolah. Sakitnya yang semakin parah, membuat bayang kematian terasa dekat.“Bagaimana nasib kalian nanti, Nak. Jika ibu tiada” rintih Mardiana.

Sudah dua tahun suaminya berpulang ke Rahmatullah. Ketika Suaminya baru meninggal memang banyak yang menaruh simpati. Mulai dari keluarga suami, maupun keluarganya. Mereka sering datang membezuk, memberi uang belanja dan dorongan semangat. Waktu terus berlalu dan satu-persatu mulai menjauh. Janji Pak Adang saudara tertua suaminya yang akan membiayai sekolah anaknya hanya tinggal janji. Janji bantuan beras dari Etek Nuraini, adik mendiang ibunya yang mengambil alih sawah yang dulu ibu dan ayahnya garap tidak kunjung datang. Jangankan beras, datang bersilaturrahmipun tidak pernah lagi. Begitu juga saudara-saudara yang lain. Bertanya kabarpun tiada pernah lagi.

Kini Mardiana bak sebatang kara. Lima anaknya itulah yang dia punya. Tiada tempat bergantung. Tiada tempat untuk mengadu. Kadang dia menyesali mengapa dulu orangtuanya hanya punya anak satu dia seorang. Andai ada abang dan adik kandung tentu dia bisa membagi bebannya. Seperti temannya yang juga janda sesama pengajian.Temannya itu sering cerita biaya sekolah anaknya dibantu abangnya. Adiknya yang kerja kapal akan membuatkan rumah baru untuknya karena si bungsu akan menikah. Bila mengingat itu dia cepat istigfar. Garis hidup sudah ditentukan Tuhan. Tak boleh meratapi nasib begitu pesan ibunya dulu.

Teman-temannya di pengajian pernah menyarankan agar dia menikah lagi. “Kasihan anakmu, Mar. Siapa yang akan membiayai sekolah mereka. Kamu tidak bekerja. Keahlian tidak punya. Kamupun sakit-sakitan pula. Carilah suami lagi, Mar. “ Mengingat saran itu, hatinya makin hancur. Bukan karena tidak yakin bakal ada pria yang mau dengannya karena dia sakit-sakitan. Sebab, mantannya waktu SMA dahulu, enam bulan lalu bersama ibunya pernah datang kerumah meminangnya. Mantannya itu hingga kini diusianya 40 tahun ternyata belum juga menikah. Ibu mantannya itu hingga kini terus membujuknya. Mereka tidak masalah dengan penyakit yang dihidapnya karena bisa diobati, begitu juga lima anaknya. Ibunya mengaku menyesal dulu menolak rencana pernikahan kami . Cerita ibu itu, akibatnya anaknya hingga kini tidak mau menikah. Begitu mengetahui nasibmu, kata ibu itu. Anaknya membujuk ibu agar mau datang melamarmu.

Air matanya menetes mengingat itu. Dia menolak halus.Janji pernikahannya dengan sang suami tidak akan pernah dia Ingkari. Jika ditimang-timang, indah memang. Cinta dahulu bersemi kembali. Tapi itu masa lalu yang sudah lama ditinggalkan dengan segala pedih perihnya.Janji nya dengan sang suami dahulu jika diantara mereka siapapun yang duluan meninggal tidak akan menikah lagi akan dia tepati. Harta suaminya berupa lima anak yang manis-manis dan pintar,rumah, dan sedikit tabungan akan dia jaga semampunya.

Lamunannya buyar. Kala jam berdentang dua belas kali. Sebentar lagi anak-anaknya akan pulang sekolah. Dia cepat menggulai rebung yang sudah diiris-iris tadi. Setelah semua siap, dia mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat Dzuhur.Di kamar yang sempit itu, dia membuka buku tabungannya. Sisa uang tinggal dua juta Rupiah lagi. Dia tahu uang itu tidak akan cukup memenuhi semua kebutuhan hidup dan sekolah anak-anaknya.Aku tidak boleh terus –menerus di rumah seperti ini. Aku harus bekerja, batinnya.

Sambil terbatuk-batuk, Mardiana menerawang pekerjaan apa yang bisa dilakoninya. Sebab suaminya dulu selalu melarangnyaa, tidak boleh bekerja, dirumah saja mengurus anak-anak. Ijasah sarjana administrasi perkantorannya yang sudah lusuh juga tidak akan berguna lagi mengingat usianya yang sudah kepala empat. Dia teringat suatu tempat di pasar pagi ketika suaminya dahulu pernah mengajaknya memborong belanjaan dapur untuk acara aqiqah anaknya. Kata suaminya disini lebih murah. Mardiana tersenyum.

Subuh-subuh sekali, Mardiana membangunkan anak-anaknya. Kepada anak gadisnya yang sulung yang duduk di bangku SMA dia menitip pesan.” Nak, Ibu akan ke pasar tapi akan pulang lama. Ibu akan berjualan apa saja di pasar dari pagi hingga sore. Tolong urus adik-adik ya, sayang!” Kepada empat anak-anaknya yang duduk di bangku SMP dan SD dia berpesan mulai hari ini agar belajar mandiri, makan siang sudah ibu siapkan dan satu yang penting tidak boleh membantah kakak. “Doakan ibu mendapat rezki yang banyak, agar kita semua dapat terus bertahan hidup, menyekolahkan kalian hingga mendapatkan cita-cita yang kalian inginkan. Mengerti, nak.” Semua anak-anaknya mengangguk.

Matanya berkaca-kaca, siang nanti dan seterusnya dia tak akan lagi bisa berdiri di depan pintu menyambut ceria anak-anaknya sepulang sekolah. Menemani mereka makan siang, menyuruh tidur siang, membangunkan mereka menyuruh pergi mengaji.Mengomeli mereka yang kadang bandel dan usil. Dia tersenyum, mengingat tingkah polah anak-anaknya itu entah kenapa semangatnya kian membuncah.

Dengan menahan batuk dan sesak didadanya, Mardiana berangkat ke pasar. Dia harus menampakkan ke semua anak-anaknya dia sehat-sehat saja. Tetap sebagai ibu yang sehat dan kuat.Dia tidak ingin anak-anaknya tahu sakitnya, lalu mereka kepikiran dan lemah semangat untuk bersekolah. Biarlah mereka tetap ceria, menganggap semua berjalan baik-baik saja.

Di Bus yang mengantarnya ke pasar subuh itu. Udara dingin membuat batuknya makin menjadi-jadi. Dia kuatkan hatinya. Dengan bersusah payah, dia berjalan dari terminal menuju pangkalan truk-truk sayur dan buah-buahan tempat pedagang pengencer membeli untuk dijual kembali. Dia pun ikut berebut menawar sayur dan buah-buahan dipangkalan tersebut. Dengan modaltiga ratus ribu akhirnya dia berhasil mengumpulkan dua karung sayur kol dan bayam serta sekeranjang jeruk. Becak mengantarkannya ke pasar pagi. Dia menggelar sayuran itu di pinggir jalan, dekat gerbang Pasar. Hingga siang dan pasar pagi mulai sepi dagangannya belum habis.Kol dan bayam yang tersisa dah mulai layu. Jeruk masih sekeranjang, belum banyak yang terjual.

Dia menghitung uangnya apakah modal sudah kembali. Baru dua ratus sepuluh ribu. Batuknya makin menjadi. Keringat mengucur deras, perutpun mulai lapar. Dari pagi dia belum makan, hanya minum saja dari air yang dibawa dari rumah. Dia lalu membeli nasi lemak dari nenek-nenek yang menjajakan sekeliling pasar. Nenek itu memandangnya lama. “Ibu baru ya berdagang disini?”Mardiana tersenyum sembari mengangguk. “ Ibu keliahatan sakit, mukanya pucat.” Mardiana tersenyum lagi.

“Bu, biar nenek borong semua. Kasihan, pulanglah untuk istirahat. Seratus ribu. Mau?” Mardiana memang merasa sudah tak sanggup lagi. Tapi jika dijual semua seratus ribu kenenek itu dia hanya mendapat untung sedikit. Hanya Sepuluh ribu. “Lebihkan, lah Nek.” Mardiana mencoba menawar. “Baiklah, Seratus sepuluh ribu. Kalau mau, tolong berdua kita angkat ke depan warung di seberang sana.” Kata nenek itu. Mardianapun setuju, dia memasukkan ke karung sisa jualannya dan berdua dengan nenek itu mengangkat karung-karung itu ke seberang jalan.

Mardiana mengucapkan terimakasih. Dengan terbatuk-batuk, Mardiana keliling pasar belanja dapur, dan membelikan kue untuk anak-anaknya. Semua kena dua puluh ribu. Itulah untung dari usahanya berjualan sejak subuh tadi. Mardiana bersyukur.Besok kuulang lagi. Begitu juga besoknya, besok dan besok lagi. Semoga dapat rezki lebih baik lagi. Kata Mardiana dalam hati.

***

Jika kalian pernah melihat ibu-ibu tua terbatuk-batuk menjual sayur atau buah-buahan dipasar. Dialah Mardiana. Kartini yang sebenarnya. Apa keberhasilannya? Tanyalah mereka. Mereka akan bangga bercerita tentang anak-anaknya yang sudah jadi dokter, jadi dosen, guru, kerja di Bank dan sebagainya.Lalu mengapa masih berjualan di pasar. Pasti mereka menjawab, Mereka Tak apa-apa. Mereka merasa sehat disana. Apa anak-anaknya tidak melarang. Pasti mereka menjawab ada dilarang. Tapi mereka tidak mau merepotkan anak-anak mereka, itulah kehidupan, itulah kebanggaan mereka. Perempuan-perempuan perkasa.

Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, selalu melindungi dan menyehatkan mereka. Aamiin…..

Tanjung Pinang, 19 April 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun