Hanya di Indonesia para dokter melakukan demo dan meninggalkan tugas kemanusiaannya untuk "melawan" negara. Aksi para dokter yang dilakukan secara nasional tersebut dipicu oleh keputusan hakim Mahkamah Agung (MA) yang menjatuhkan hukuman 10 bulan kurungan terhadap tiga dokter yakni dr Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr Hendry Simanjuntak dan dr Hendy Siagian, yang dinyatakan bersalah karena tidak memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) saat melakukan operasi cesar terhadap Julia Fransiska Makatey yang menyebabkan korban meninggal dunia.
Selain tidak memiliki SIP, ditemukan juga adanya pemalsuan dokumen persetujuan tindakan khusus dan pembedahan terhadap pasien, ketiga dokter tersebut juga tidak memberikan informasi tentang resiko pembedahan dan permintaan persetujuan kepada keluarga pasien, dan juga disinyalir ada penanganan yang salah saat pembedahan yang dilakukan oleh tiga dokter tersebut hingga akhirnya pasien meninggal.
Sedangkan yang meringankan hukuman mereka adalah karena selama ini mereka belum pernah dihukum, dan masih menempuh pendidikan pada Program Pendidikan Dokter Spesialis di Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Jika melihat kasus diatas maka menurut hemat penulis tidak sepantasnyalah para dokter se-indonesia harus melakukan demo menolak keputusan itu sebagai bentuk solidaritas terhadap sesama dokter. Sebab apa yang ditemukan oleh hakim dalam persidangan jelas-jelas sudah "melecehkan" profesi kedokteran. Seharusnya para dokter mendukung putusan MA tersebut.
Tapi penulis bersyukur ternyata tidak semua dokter melakukan demo, di daerah penulis di Kabupaten Bintan aktivitas puskemas dan Rumah Sakit tetap berlangsung seperti biasa. Para bidan, perawat dan dokter yang bertugas pada hari "demo nasional dokter" tersebut semuanya bekerja seperti biasa.
Dari surat kabar daerah yang terbit esoknya diketahui ternyata pihak manajemen puskemas, Rumah Sakit dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setempat hanya memberi izin mereka yang tidak praktek pada hari itu boleh berdemo, dan demopun hanya diizinkan dua jam saja dengan melakukan aksi damai di beberapa Rumah Sakit seperti Tanjung Pinang dan Batam. Pembatalan Demo sehari penuh ini dilakukan karena mengingat banyaknya masyarakat yang membutuhkan penanganan medis dan menunggu diruang tunggu. Hanya klinik-klinik swasta milik dokter yang nampak tutup seharian.
Sejatinya, apapun profesi di negara ini tidak boleh kebal hukum. Meskipun itu adalah profesi dokter yang berhubungan dengan orang sakit. Karena pekerjaan beresiko inilah maka para dokter tidak boleh lalai sedikitpun. Kalau lalai maka dokter layak di hukum.
Dalam kode etik dokter pada pasal 1 sudah disebutkan bahwa dokter tidak boleh melanggar sumpah dokter diantaranya bahwa dokter bersumpah akan membaktikan hidup mereka untuk kepentingan perikemanusiaan, melaksanakan tugas dengan penuh hormat dan bermoral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan mereka dan sebagainya. Maka, dengan demo-demo dan meninggalkan tugas kemanusiaannya ini maka jelaslah dokter sudah melanggar sumpah mereka.
Penulis menilai demo para dokter yang memang baru kali ini terjadi sebenarnya bukan karena kasus Dr. Ayu semata tapi ada hal lain yang melatar belakanginya, salah satunya adalah pernyataan Menkes tempo hari yang akan "membunuh pelan-pelan" dokter yang mogok. Pernyataan keras walau sebenarnya bercanda dari menkes inilah yang memicu dokter bergejolak.
Bagaimanapun profesi dokter harus dilindungi. Mereka tidak boleh diintimidasi dalam bekerja. Namun, jika bersalah tetap harus diberi sanksi sesuai hukum yang berlaku.
Wahai para dokter, ingatlah betapa banyak masyarakat membutuhkanmu. Profesimu sangat mulia! Jangan sampai nama baikmu dicederai oleh mereka yang mencari keuntungan pribadi disitu dengan menghalalkan segala cara seperti pemalsuan, membenarkan kelalaian dan lainnya.