Mengikuti berita tentang Buk Risma Walikota Surabaya banyak yang bisa diambil sebagai pelajaran. Kisah seorang pemimpin dari kalangan biasa yang bekerja luar biasa. Ya, Buk Risma dulunya bukan siapa-siapa. Beliau hanya PNS karier yang berdinas di Pemerintahan Kota Surabaya. Karirnya mulai naik ketika ditunjuk menjadi Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Bappeko Surabaya pada tahun 1997 semasa Surabaya masih dipimpin Kol (purn) H Sunarto Sumoprawiro.
Semasa Walikota Drs. Bambang Dwi Hartono, MPd karir Buk Risma makin baik. Beliau beberapa kali mengalami mutasi jabatan. Pada tahun 2002 beliau menjadi Kepala Bagian Bina Bangunan, lalu tahun 2005 menjadi Kepala Bagian Penelitian dan Pengembangan dan pada tahun 2010 diangkat menjadi Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan. Selama berkarir di Pemko Surabaya itu prestasi beliau sangat bagus dan merupakan salah satu pejabat pemko yang bersih.
Makanya tidaklah mengherankan pada Pilkada 2010, PDIP kepincut meminang beliau untuk dimajukan menjadi walikota Surabaya, ketimbang memajukan ketua cabang PDI-P Surabaya yang dijabat Wisnu Sakti Buana. Bahkan Bambang Dwi Hartono yang merupakan walikota incumbent yang juga kader PDIP dengan legowo "turun kasta" maju menjadi wakilnya Buk Risma. Kejelian PDIP menunjuk Buk Risma yang notabene bukan kadernya, ternyata berbuah manis. Pasangan Risma- Bambang menang pada pilkada Surabaya 2010. Dengan demikian PDIP tetap memegang hegemoninya di Surabaya.
Dua tahun dipimpin Buk Risma, wajah Surabaya berubah drastis. Banyak perubahan-perubahan yang dilakukan oleh Buk Risma yang membuat banyak orang gerah. Kabarnya termasuk PDIP dan kroni-kroninya. Bahkan Bambang Dwi Hartono sendiri seperti dilansir oleh media suarasurabaya.net (14 januari 2014) menilai Tri Rismaharini,Walikota Surabaya mulai melupakan komitmen awal saat dirinya diusung PDI-P pada pilkada 2010 lalu.
"Bagaimana garis perjuangan dan ideologi itu diterapkan supaya pemimpin membawa aspirasi partai pengusung dan bisa menterjemahkan kehendak rakyat," kata Bambang. Pernyataan Bambang ini memang terkesan aneh. Apakah yang diperjuangan dan perubahan yang dilakukan oleh Buk Risma selama memimpin kota ini tidak sesuai dengan aspirasi partai dan kehendak rakyat? Padahal rakyat surabaya sangat mendukung apa yang dilakukan Buk Risma.
Penulis menilai "kesalahan prosedur" pemilihan wakil ketua DPRD Surabaya Wisnu Sakti Buana menjabat wakil walikota menggantikan Bambang Dwi Hartono yang mengundurkan diri karena akan maju pada Pilgub Jawa Timur adalah suatu "setting-an". Karenanya Buk Risma mempersoalkan ini. Tentu juga ada hal lain pemicu penolakan Buk Risma atas pemilihan wakil walikota tersebut. Dan itu bisa terlihat seperti pemberitaan tempo (19 februari 2014) ketika Buk Risma akhirnya menerima Wisnu Sakti Buana, Wakil Wali Kota yang baru, Risma langsung mengeryitkan kening, karena pada pertemuan mereka yang pertama kali, Wisnu langsung bicara soal proyek: tukar guling lapangan Bogowonto di Surabaya utara. Ya, kata "proyek" adalah kata yang sering membuat alergi Buk Risma.
Jadi, tekanan-tekanan yang dimaksud Buk Risma itu benarlah adanya. Buk Risma kini seperti "sendiri" ditengah para "srigala-srigala" Kota Surabaya. Kota terbesar kedua di Indonesia, yang tentu banyak kepentingan disana. Maka Beruntunglah orang baik yang masuk ke suatu partai baik tentu dia akan bisa bekerja dengan tenang. Kalau, tidak maka dia akan "sendirian" disana.
Save Buk Risma!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H