Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 82/Menkes/SK/I/1996 dan perubahannya Nomor 924/Menkes/SK/VII/1996 menyatakan bahwa produsen atau pelaku usaha diwajibkan untuk mencantumkan label halal pada produk makanan dan minuman kemasan. Tujuannya adalah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen muslim dalam mengkonsumsi makanan/minuman tersebut.
Namun kenyataannya kita masih banyak menemukan produk makanan atau minuman kemasan yang beredar tanpa labelisasi halal. Pemerintah terkesan tidak serius untuk memenuhi hak umat Islam ini. pasalnya selain banyak beredar, ternyata juga tidak adanya akibat hukum yang diberikan kepada produsen atau pelaku usaha yang tidak melabelisasi halal makanan atau minuman produk mereka tersebut. Hal ini mengakibatkan produsen atau pelaku usaha tidak segera mengurus sertifikasi dan labelisasi halal.
Upaya hukum pemerintah selama ini baru sebatas tertuang dalam undang-undang. Kalaupun ada aksi baru bersifat himbauan atau penarikan produk yang setengah hati. Selain itu faktor lain mengapa pelaku usaha enggan mengurus label halal adalah faktor biaya dan syarat-syarat serta proses yang lama untuk membuat pengeluaran sertifikat tersebut.
Menurut penulis bagaimanapun pencantuman halal ini harus dilaksanakan sebab penduduk Indonesia mayoritas adalah Muslim. Mereka punya hak untuk dilindungi. Negara wajib memenuhinya. Karenanya disarankan kepada produsen atau pelaku untuk memperhatikan hak konsumen muslim ini. Kepada pemerintah juga diharapkan agar melakukan pengawasan yang ketat dan memberikan akibat hukum yang berat bagi yang tidak mencantumkan label halal. Tentunya pemerintah juga semestinya memberikan kemudahan dalam hal pengurusan dan menetapkan biaya yang murah.
Kemudian satu lagi yang menarik adalah adanya pertanyaan dari sahabat penulis yang non muslim pada suatu diskusi mengenai kewajiban pelabelan halal ini. Sahabat tersebut bertanya: " Mengapa produk yang tidak berlabel halal harus ditarik tidak boleh dijual dipasaran Indonesia, bukankah penduduk Indonesia bukan Muslim saja, dan siapa tahu produk tersebut sangat dibutuhkan mereka?"
Penulis lama juga tercenung untuk menjawab pertanyaan ini. Akhirnya penulis mengemukakan pendapat, jika begitu tentu perlu juga ada label haram. Pemerintah seharusnya membuat pilihan ini. Kepada pelaku usaha yang tetap bersikukuh menjual produk makanan atau minumannya setelah diteliti tidak halal dimakan oleh Muslim misal mengandung zat haram seperti babi atau anjing. Maka pemerintah bisa memberi pilihan pencatuman label haram pada produk tersebut jika ingin tetap menjualnya.
Penulis menilai hal ini cukup adil. Penulis berharap pemerintah dapat mempertimbangkan usulan ini. Bagi pelaku usaha yang memproduksi makanan atau minuman kemasan diwajibkan mencantumkan label halal atau label haram pada produknya tersebut, kalau tidak mau mengurusnya pemerintah wajib melarang penjualan produk tersebut dan memusnahkannya.
Saran penulis produk seperti minuman keras, rokok, daging babi kemasan dan lain-lain perlu diberi label haram. Rokok misalnya hingga saat ini dengan memberi gambar menyeramkanpun ternyata tidak banyak pengaruhnya untuk membuat masyarakat muslim berhenti merokok. Nah, tidak salah kalau dicoba dengan memberi label haram, apalagi MUI sudah memberi fatwa rokok itu haram. Berani?
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H