Mohon tunggu...
Alby Syafie
Alby Syafie Mohon Tunggu... lainnya -

Terus ingin belajar menulis untuk berbagi senyuman

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Cerita yang Salah

25 Januari 2014   08:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, kau pernah certa padaku dengan menggebu-gebu bahkan matamu terlihat berbinar cerah. Kau katakan dia sama sepertiku. Manusia pecinta seni bahkan dia salah satu personil band yang namanya banyak digandrungi anak muda. Kau pun katakan dia juga seorang vokalis sekaligus pencipta lagu-lagu yang selalu dibawakannya setiap kali dia nyanyi.

Dalam hati aku hanya berbisik, “Ah, siapa dia dan seberapa hebatkah dia hingga membuatmu mabuk kepayang.”

Setiap saat namanya selalu masuk ke telingaku lewat cerita indah dari bibirmu. Tentu di balik itu aku selalu berbisik penuh tanda tanya, “Ah, seberapa hebatkah dia?”

Hingga suatu hari, saat berjalan bersama teman pada sebuah pameran alat elektronik, aku berpapasan dengan seseorang. Anehnya hati kecilku serta merta berbisik saat mata saling bertatapan. “Ah, sayang sekali, seperti ada yang tidak beres dengannya.”

Seketika hatiku terhentak kala bisikan itu secara tiba-tiba memenuhi ruang otakku. Segera kutepis suara-suara aneh yang bergemuruh dalam hatiku. Kakiku terus berjalan menyusuri pameran elktronik hingga kakiku menuntunnya ke sebuah tanah lapang. Sebuah panggung yang lumayan besar berdiri kokoh di sana. Lagi-lagi hatiku bergemuruh dan kaki ini berat untuk dilangkahkan meninggalkan tanah lapang. Hingga terdengar sebuah nama dari microfon diikuti gemuruh tepuk tangan para penonton.

Sungguh aku terperanjat, melihat sosok yang telah berdiri di atas panggung. Seseorang yang sesaat tadi berpapasan denganku. Kembali suara hatiku berkata, “Ah sayang sekali ada yang tidak beres.

Sesaat kemudian kakiku ringan kulangkahkan meninggalkan area tanah lapang itu. Namun suara-suara hatiku makin menggila memenuhi pikiran dan otakku.

Lagi-lagi untuk kesekian kalinya kau datang malam itu. Kembali sebuah cerita cinta yang menggebu kau paparkan. Setelah cerita cinta itu usai, kau pun pamit pergi dengan senyum yang terus mengembang. Aku melihat begitu dahsyat cinta yang menyelimutimu. Hingga gerak tubuhmu menyatakan cinta yang membara. Namun hanya sesaat kau kembali lagi. Kali ini tidak sendiri, melainkan bersama dia. Sontak hatiku kembali bergemuruh. Dia yang kau elukan adalah seorang yang pernah berpapasan denganku.

Gila, kali ini lebih parah dari biasanya. Suara hatiku semakin gencar menggedor-gedor saat kau, dia dan aku duduk bersama. Seketika badanku panas saat suara-suara hati makin menggila memenuhi ruang otakku. “Ah, ini salah. Jauhi dia. Tinggalkan dia. Ah, sayang sekali ada yang tidak beres dengannya. Dia tidak hebat. Dia pengecut. Dia pecundang. Dia rendah dan tidak memiliki akhlak. Cepat tinggalkan dia.

Suara hatiku terus saja meracau seperti membaca mantera yang tidak pernah putus. Semakin lama suara-suara itu terus berloncatan memenuhi ruang kecil dalam otakku kecilku. Tubuhku semakin gemetar dan panas mendera dengan hebatnya. Sesuatu yang selama ini tertidur, kini terbangun karena dia yang kau elukan. Seketika kusudahi pertemuan itu dengan berbagai alasan agar kau tidak tersinggung. Lalu sekian lama aku mencoba menghindarimu hingga tersiar kabar pelaminanmu telah digelar. Kembali suara hatiku berbisik, “Ah, sayang sekali. Kasihan sekali dengan pilihan yang salah.”

Lagi-lagi untuk sekian ribu kalinya suara hatiku berloncatan. Namun mulutku terkunci dengan hebatnya. Aku tidak bisa katakan semua suara hatiku padamu.

Waktu berlalu dan kabarmu singgah dengan cerita yang suram. Kabarnya, dia yang kau elukan telah kehilangan sisi kemanusiaannya. Berganti sisi binatang yang keji dan sangat buas. Dia kehilangan moral hingga mencorengkan arang yang keji dimanapun berada. Lalu kabar si kecil buah cinta yang kau agungkan, kini terlantar dengan sempurna.

Lagi-lagi sesuatu dalam hatiku berloncatan. Suara itu kembali berloncatan. “Ah, hentikan saja! Sudahi cerita itu! Tak perlu lagi diteruskan. Cepat kembalilah ke fitrah! Taubat! Insyaflah!”

Ah, mengapa hatiku tidak bisa diam.

Kini, aku hanya jadi penonton saja dari setiap cerita yang kau ciptakan. Kemudian berharap, andai kau adikku, aku akan menjadi orang terdepan mengulurkan tangan mengajakmu kembali ke jalan penuh fitrah. Jalan yang di ridhoi Allah.

Aku tidak kenal siapa dia yang kau agungkan melebihi Tuhan-mu. Aku hanya ingin katakan dengan tegas padamu. Bahwa, dia tidak sama sepertiku yang kau katakan seorang pecinta seni. Seorang pecinta seni, hatinya sangat tulus, halus dan peka. Seorang pecinta seni sejati mempunyai sisi yang lembut karena sadar memiliki hati dan perasaan. Sementara dia yang kau samakan denganku, sangat bertolak belakang. Seorang pecinta seni tak pernah memelihara binatang buas, keji dan liar dalam hati dan pikirannya hingga menerkam apa saja dengan sadisnya. Bahkan seekor macan yang buas pun tak akan pernah memangsa anaknya sendiri. Dan, seorang pecinta seni hanya ingin selalu mengolah pikirannya untuk berkarya yang bisa bermanfaat bagi semua. Sementara dia? Ah, salah besar jika kau samai aku dengannya. Aku memiliki hati nurani. Sementara dia? Coba kau tanyakan padanya, dimana dia letakkan hati nuraninya?



*Dari kisah nyata seorang teman dan penulis sendiri *

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun