Mohon tunggu...
Sutisna Sutisna
Sutisna Sutisna Mohon Tunggu... -

Asal dari bumi Galuh bagian selatan, sekarang kerja sebagai penjual tempe eceran di Swedia.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tiket Pesawat Murah

21 Juni 2011   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:18 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Dunia penerbangan dengan menawarkan tiket murah, akhir-akhir ini sangat menjamur. Dalam kurun waktu 10 tahun kebelakang sudah banyak perusahaan yang berani dan memberanikan diri untuk membuka perusahaan penerbangan. Persaingan yang sangat ketat untuk merekrut penumpang di antara sekian banyak perusahaan sehingga tidak sedikit perusahaan yang hanya bisa hidup  beberapa tahun saja.  Hal itu bukan hanya terjadi di Indonesia tapi juga banyak terjadi di negara lain seperti di Europa.

Belum sempat menikmati nyamanya penerbangan dengan Adam air kini sudah tengkurem dan tidak mengudara lagi, begitu halnya dengan Indonesia air, Bouroq, mandala yang statusnya masih belum menentu, tapi itu hanya salah satu contoh yang patut kita renungi apalagi bagi mereka perusahaan yang berniat untuk berkecipung dalam dunia penerbangan harus berpikir 7 keliling dengan management yang sekiranya bisa menyambung kelangsungan hidup perusahaan dengan tidak mengabaikan keselamatan penumpang.

Kesuksesan Air Asia, Lion Air, Sriwijaya, Merpati yang telah sanggup mengepakan sayapnya di bumi Indonesia dan telah mencoba untuk memperlebar sayap kenegeri lain patut kita syukuri semoga bulu-bulu mereka tidak di sulap dengan bulu buatan orang yang tidak bertanggung jawab, bagaimanapun nyawa manusia lebih berharga dari ongkos murah yang kita bayar. Keluhan demi keluhan para penumpang yang saya dengar dan baca di mendia masa, dengan pesawat terlambat berangkat harus segera dibenahi, bagaimanapun ketepan waktu harus diurus dengan cermat demi kelancaran semua pihak.

Di tengah gemuruhnya pesawat yang sedang berancang-ancang untuk siap mengudara saya bertemu dengan seorang sahabat lama yang sudah sekian lama tidak bertemu, maklum hidup kita berada di belahan dunia yang yang berbeda. Ku sapa dengan nama panggilan yang masih terulas dalam otakku ketika kami masih kecil dan main di sekolah yang sama. Boim nama panggilan dia dengan gaya lugu dan pendiam tapi lucunya kalau dia sudah mulai bercanda.

" Hej Im, apa khabar bagaiman dengan kamu dan keluaga?" Tanyaku secara sepontan ketika melihat tubuh seorang lelaki yang tidak sengaja berada di depan ku berjalan munuju arah yang berlawanan.

"Hej Tis, apa khabar pula, kamu mau kemana dan kapan datang?" Jawab dia dengan nada yang seperti tidak percaya bahwa kita saling mengenal. Memang kita sudah lama tidak bertemu dan cukup susah untuk mengidentipikasi seseorang yang kita kenal di antara sekia banya orang.

"Saya hanya jalan2 saja lihat suasana kota yang sudah lama saya tinggalkan, yuk kita duduk dan ngopi, kau punya waktu nggak?"

"Pasti dong, kita kan lama tidak bertemu, jadi harus ada waktu untuk kita ngobrol." Sambil kita ngeloyor mencari sebuah warung yang menyediakan minuman dingin, kita ngobrol ngaler ngidul menurut  istilah orang sunda.

"Pak dua es campur dengan kelapa mudanya yang banyak biar extra segar untuk orang ini nih yang lama tidak makan kelapa muda." Minta Boim kepada si empunya warung itu, nampaknya dia sudah mulai keluar gaya lugu bicara dan leluconnya yang barang kali sudah di pendam sekian lama.

"Kapan datang dan bagaiman dengan keluarga, bisakah si kecil bahasa sunda? Harus dong kamu kan orang sunda jadi jangan lupa bahasa ibu sendiri, biar kau tinggal di belahan dunia mana tapi bahasa sunda harus di turunkan, dan jangan lupa. Contoh disini saja sudah banyak anak yang orang tuanya sudah ogah mengajarkan bahasa sunda sama anaknya atau contoh lain kalau kita belanja ditoko si pelayan sudah tidak mau bicara pakai bahasa sunda, dia bilang gengsi dong, itu jadul katanya." Eh, berapa sih kau bayar tiket pulang balik, kalau murah aku mau ikut kamu, biar bisa lihat bule2, pasti di sana banyak yah." Kelakar dia yang sepertinya sudah tersulut dengan segelas es campur sehingga rasa segar sudah mulai pulih dari teriknya matahari dan sesaknya polusi udara akibat dari banyaknya kendaraan.

"Kamu jangan mau tahu ongkos tiket itu mahal, kita bayar yang paling murah sekitar 10 juta per orang , kali 3 coba berapa , belum untuk makan itu ini, kamu pernah naik pesawat belum."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun