Menjelaskan rasa seakan sangat sarat dengan individualis. Sekalipun tegas dengan permulaan "se-rasa", bukan penyampaian penekanan pembeda sebagaimana dalam satu bacaan kata tersambung. Pada makna, lebih pada satu keserupaan rasa dengan pengalaman dekat dengan sama, namun pada pengalaman masing-masing personal.
Begitulah tulisan ini terangkai, pada bahasan frekuensi gelombang semesta yang disebut dengan "RASA". Tiada keragaman tanpa getaran muasal, yang pada akhirnya merambat membentuk gelombang berfrekuensi. Yang hemat kata disebut dengan rasa, tertangkap oleh indrawi hati dan turut tercerna oleh daya fikir otak. Alhasil ekspresi sikap dari respon tersebut, dapat berupa tindakan, tutur bunyi, atau sekedar analisis fikir.
Beruntung mereka yang dapat menangkap banyak lapis dan ragam gelombang frekuensi yang merambat di semesta ini. Sesederhana mendengar gelombang frekuensi yang merambat dari diri sendiri. Mereka yang menikmati alunan dalam hampar ruang dan waktu, bertemu dan menari bersama alunan kerja semesta. Harmoni.
Sekat kategori dan klasifikasi hanya referensi adaptifitas untuk memerankan sikap dalam harmoni semesta. Yang kemudian dalam bahasan tentang "RASA", benar-benar mengalun dengan gerak tepat dan patut. Untuk capaian kemanusiaan bernama selaras, yaitu cukup nya ke diri an atas hamparan kesempatan dalam jalan panjang di kehidupan semesta.
"Terimakasih, apapun-siapapun-bagaimanapun. Tanpa ada mengapa. Untuk sebuah kerangka harmoni, itukah yang disebut CINTA?", tanya pemuda berkaos patrick star. Mata kuliah kala itu ditutup dengan bahasan meluas, dan menggantung demikian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H