Mohon tunggu...
Muhib Albuwaity
Muhib Albuwaity Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Coretan Albuwaity

Menulislah maka kamu ada

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UNUSIA, Poros Kampus Nahdlatul Ulama

1 Juli 2021   18:37 Diperbarui: 1 Juli 2021   18:43 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dalam statutanya berdiri pada tanggal 18 Juni 2015 bertepatan pada 1 Ramadhan 1436 H. Kampus dalam naungan Nahdlatul Ulama (NU) ini sangat kental nuansanya dengan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Waljama'ah (AsWAJA) An-Nahdliyah, tidak lupa pula meng-asaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 sebagai dasar landasan perguruan tingginya. Sebagai bukti Nahdlatul Ulama turut serta dalam pembangunan pendidikan tinggi Indonesia, UNUSIA diharap menjadi kiblat perguruan tinggi Nahdlatul Ulama lain yang tersebar diseluruh daerah di Indonesia.

Rentang sejarah NU telah masyhur diketahui masyarakat Indonesia, setidaknya para kyai dan santrinya amat sering disebut dalam catatan sejarah. Pendidikan pesantren menjadi corak khas NU yang keilmuannya turut bersumbangsih dalam kemerdekaan Indonesia. Sosok santri yang menjadi intelektual agamis, merupakan bukti keseimbangan pendidikan umum (saintek-sosum-tekhnik) dengan pendidikan agama. Tidak lupa pula etika baik dalam belajar maupun bersosial, yang ditanamkan selama dipesantren menjadi kelebihan tersendiri kaum santri.

"Menjaga tradisi-tradisi lama yang mashlahat (baik), dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik", demikian kaidah fiqih bertutur. Zaman boleh jadi berubah, namun nilai-nilai pada suatu tradisi akan tetap. Sering kali NU di cap dengan peradaban ndeso, yang tentu memang karakteristik pesantren tidak jauh dari lingkungan budaya desa. Abad 21 ini menjadi bukti bahwa NU juga mengambil peran dalam perkembangan dunia pendidikan tinggi. Sebab diantaranya karena telah banyak alumni pesantren maupun masyarakat umum yang sudah lekat dengan tradisi NU tersebar luas di seluruh Indonesia. Tentu diantara semua elemen individu tersebut pasti terdapat kalangan terpelajar yang berharap dapat melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.

Untuk menjalankan fungsi organisasi kemasyarakatan, tentu bidang pendidikan dalam hal ini pendidikan tinggi perlu ditunjang penuh. Era globalisasi telah menuntut manusia berinteraksi lebih luas dan tentu perlombaan antar sumber daya manusia terjadi (SDM). Kualitas SDM inilah yang menjadi sasaran perguruan tinggi untuk menempatkan mahasiswanya membangun lingkungan masyarakat dan sektor-sektor terkait.  Dengan landasan pendidikan khas Nahdlatul Ulama, tentu tidak diragukan lagi bagaimana pengabdian sejauh ini dalam gerakan kemasyarakatan. Belum lagi didukung lembaga Nahdlatul Ulama terkait yang saling dikesinambungkan. Bukan hal yang tidak mungkin doublemovement (gerakan berlipat-lipat) yang dilakukan oleh mahasiswa Nahdlatul Ulama yang terwujud dalam pembangunan SDM.

Karena faham ke-ASWAJA-an masa ini di tarik oleh banyak pihak sebagai alam fikiran mereka, penting peran pengawasan terhadap pengerak-penggerak yang bersentuhan langsung untuk paling tidak selalu mendapat pengarahan. Khas pesantren dimana pengabdian santri senantiasa sowan kepada pendidiknya ketika terjun di masyarakat. Poin ini termuat dalam Tridharma perguruan tinggi yang mustinya dalam praktek sejalan. Kebebasan akademik seringkali disalahgunakan dalam membebaskan hal terlarang atau melegalkan hal diluar batas asas pendidikan. Meski sifat pengawasan berupa himbauan ataupun peringatan, namun hasrat negatif kemanusiaan pasti terselip dalam tiap manusia. Disinilah peran penting sosok pendidik untuk mengarahkan didikannya.

UNUSIA telah hadir pada lingkungan terdekatnya dan akan terus meluaskan benih didikan dalam pembangunan kualitas SDM dunia. Oleh karenanya banyak pihak perlu turut serta menunjang lancarnya perkembangan ini. Kiranya UNUSIA hadir terlambat, namun terlambat bukan berarti tertinggal ataupun kalah. Selama esok hari masih terbit sang fajar, maka masa ini masih berlangsung. Maka rentang masa saat ini, sayang ketika tidak ada satu hal pertumbuhan dalam kehidupan. Mahasiswa ataupun santri, atau mereka yang telah terdidik walaupun sedikit, setidaknya telah terhitung sebagai orang yang berkewajiban mengentaskan seorang dari ketidak tahuan.

Demikian singkatnya refleksi NU dalam perguruan tinggi, tentu perjuangan tersebut tidak berhenti sampai titik  ini. Lingungan kampus dengan pesantren tidak dapat disamakan, walaupun memungkinkan untuk disamakan. Kental kiranya kampus dengan dunia mikro birokrasi yang menjadi miniatur negara. Santri pesantren yang paling cendikiawan akan dapat mengikuti arus birokrasi pemerintah sejauh bidang pendidikan dan bidang agama, sedikit lebih dari itu. Maka kesertaan NU dalam pembangunan perguruan tinggi menjadi tangga bagi warga NU khususnya dan umumnya seluruh manusia untuk mengenal dunia kampus.

                Wallahu'alam. Wassalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun