Mohon tunggu...
Ahmad Broer
Ahmad Broer Mohon Tunggu... profesional -

sedang melakukan proses dan terus berproses....belajar dan membelajarkan diri

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sebuah Catatan Persoalan Pekerja Anak

8 September 2012   14:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Setiap hari menjelang jam 08 malam, Ronald (bukan nama sebenarnya) segera berganti pakaian seadanya dan beranjak pergi menuju gudang beras yang berjarak 2 km dari rumahnya, seperti malam-malam sebelumnya ia segera pergi ke gudang beras tersebut untuk bekerja menjadi kuli panggul beras yang akan dinaikan dan diturunkan truk-truk pengangkut beras ke pasar. Dengan tubuh kecilnya, remaja berusia 15 tahun lulusan sekolah dasar tersebut dengan cekatan memanggul sekarung beras berbobot 10 kg dan mendapatkan upah Rp.2000 per satu karung beras yang dapat diangkutnya ke dalam truk. Pekerjaan tersebut dijalaninya dari jam 08 malam hingga pukul 12 malam, dan sudah hampir 1 (satu) tahun ini, Ronald melakoni pekerjaan tersebut demi mendapatkan uang untuk diberikan kepada bapaknya. Setiap malam Ronald dapat mengantungi uang sekitar Rp.30.000,- – Rp. 50.000,- dari hasil pekerjaan kuli panggul beras tersebut.

Fenomena yang dialami Ronald di atas adalah merupakan salah satu dari sekian banyak persoalan pekerja anak yang terjadi, anak-anak yang (terpaksa) terjun ke dunia pekerjaan dengan hanya bekal tenaga dan pada umumnya menjadi tulang punggung keluarga. Sekolah bagi mereka hanyalah sebuah mimpi di siang bolong, sebuah cita-cita yang jauh dari angan, bagi mereka dapat lulus sekolah dasar saja sudah cukup dan hanya cukup sekedar bisa membaca dan menulis.

Dalam survey pekerja anak tahun 2009 yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS) dengan International Labour Organization (ILO) , jumlah pekerja anak di Indonesia mencapai 4.1 juta juta anak atau 6,9 persen dari total 58,7 juta anak Indonesia yang berusia 5 – 17 tahun dan dari jumlah 4,1 juta anak tersebut, 1,7 juta anak berada dalam bentuk pekerjaan terburuk seperti perbudakan, eksploitasi social, kegiatan illegal dan pekerjaan yang membahayakan bagi kesehatan, keselamatan dan moral mereka (Abdul Hakim, peneliti sosial pekerja anak). Data dan fakta tersebut menunjukkan indikasi bahwa persoalan pekerja anak merupakan persoalan yang harus secara serius ditangani oleh pemerintah. Akses pendidikan terbatas yang diperoleh anak merupakan salah satu penyebab mengapa anak-anak tersebut harus bekerja selain lingkaran kemiskinan yang terjadi secara structural dan sosial.

Pemerintah Indonesia sendiri sejak 1999 telah meratifikasi konvensi ILO Nomor 138 tentang batas usia minimum untuk diperbolehkan bekerja ke dalam Undang-undang nomor 20 tahun 1999, selain itu berdasarkan Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, usia kurang dari 12 tahun tidak boleh bekerja, 13-14 tahun hanya boleh bekerja 15 jam perminggu (tiga jam per hari) dan usia 15-17 tahun boleh bekerja 40 jam perminggu (delapan jam per hari) dengan tidak membahayakan fisik dan mental. Sedangkan menurut konvensi ILO, anak di bawah 15 tahun sama sekali tidak boleh bekerja.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah melalui program Pengurangan Pekerja Anak (PPA) dalam rangka mendukung program Program Keluarga Harapan (PKH) yang diselenggarakan oleh Kementrian Dinas Tenaga Kerja diharapkan dapat meminimalisasi atau mengurangi anak-anak yang berusia 5 -17 tahun untuk kembali ke dunia pendidikan dan meninggalkan dunia kerja. Sementara itu Kemnakertrans sejak 2008 hingga 2011, telah menarik 11.305 pekerja anak, kemudian mengembalikannya ke dunia pendidikan. Dan pada tahun 2012, akan menarik 10.750 pekerja anak di 84 Kabupaten/Kota pada 21 provinsi, yakni Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, DKI Jakarta, Gorontalo, Sulawesi Utara, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, dan Jawa Tengah. Selain itu, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Bengkulu, Sumatera Barat, Lampung, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, dan Aceh. (sumber Antara News, 03 Juni 2012)

Hal yang perlu menjadi bahan masukan dan perhatian dari program PPA-PKH adalah adanya data yang responsibility tentang kuantitas anak yang dapat kembali ke dunia pendidikan dari out program PPA-PKH yang dilakukan secara periodik seperti tiga tahun masa sekolah apabila anak tersebut masuk ke sekolah formal, 1-2 tahun apabila anak tersebut masuk ke program non formal paket pendidikan yang diselenggarakan Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) dan periode tahun sekolah apabila anak tersebut masuk ke paket pendidikan lainnya), dengan adanya data yang responsibility tersebut maka output dari program PPA-PKH yang diselenggarakan setiap tahun akan terdeteksi sejauhmana program tersebut dapat mencapai sasaran selain merupakan salah satu bagian dari fungsi pengawasan dan evaluasi program kegiatan.

Sejalan dengan hal tersebut pencapaian target program PPA akan sangat bergantung kepada sinergi antar lintas sektoral berbagai pemangku kepentingan seperti dinas pendidikan dan kebudayan dalam mempermudah akses pendidikan bagi anak yang ingin sekolah, dinas sosial sebagai dinas yang menangani pemberdayaan ekonomi bagi rumah tangga miskin, departemen agama selaku departemen yang dapat menyelenggarakan program pendidikan yang terintegrasi dengan kalender pendidikan dan dinas tenaga kerja selaku penyelenggara program PPA.

Ketika kemiskinan struktural sudah tidak mampu lagi ditangani oleh Negara, maka pendidikan merupakan salah satu elemen penting dalam upaya membangun kualitas anak-anak usia sekolah untuk memperoleh bekal pendidikan yang memadai guna merubah kehidupan di masa yang akan datang.



Shelter Ciruas, 01 Juni 2012

penulis adalah pendamping Program PPA-PKH Kab. serang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun