Apa yang terjadi setelah kita mati? Ini merupakan salah satu pertanyaan paling tua di dunia. Pertanyaan ini mungkin seumur dengan usia spesies kita yaitu sekitar 200.000 -- 300.000 tahun. Kematian dan apa yang terjadi setelahnya memang menjadi misteri hingga hari ini. Ribuan agama dan filosofi hadir untuk berusaha menjawab pertanyaan purba ini. Manusia menghabiskan banyak sekali waktu dan tenaga untuk berusaha menjawabnya : berdebat, melakukan penelitian, menulis buku, meditasi, dan berfilsafat.
Secara garis besar, kita terbagi di antara 2 jawaban : ada "sesuatu" setelah kematian dan tidak ada apa-apa setelah kematian. Kelompok pertama terpecah lagi menjadi banyak kelompok lainnya karena tidak sepakat akan apa "sesuatu" itu. 2 kepercayaan yang paling banyak adalah surga atau neraka dan reinkarnasi.
Berbicara soal konsep kehidupan setelah kematian, saya kira kita juga harus memikirkan bagaimana  proses evolusi membentuk spesies kita. Salah satu pembeda terbesar spesies kita dengan semua sentient being lainnya adalah kita mempunyai self-conscious atau kesadaran diri yang sepertinya paling tinggi.
Kita mungkin satu-satunya spesies yang mampu memproyeksikan masa lalu dan masa depan sebagai realitas yang sepadan dengan masa kini. Harga yang harus dibayar karna self-conscious yang tinggi adalah kecemasan. Coba perhatikan makhluk hidup lain, apakah ada binatang ataupun tumbuhan yang depresi karna terpenjara dalam kenangan masa lalu atau cemas karna membayangkan masa depan yang suram? Mereka hanya disibukkan oleh "saat ini".
Saya kira, secara intuisi (hasil dari campuran tak terpisah antara proses evolusi yang memberikan kita self-conscious yang tinggi dan pengaruh lingkungan/budaya), kita umumnya memang mempunyai tendensi untuk percaya bahwa memang ada "sesuatu" setelah kematian dibandingkan kehampaan total.
Charles Darwin, seorang naturalis asal Inggris yang menurut saya adalah satu ilmuwan terbesar yang pernah hidup, di awal perjalanan intelektualnya ternyata memiliki keyakinan yang serupa. Dalam otobiografinya, Darwin muda yang religius (22 tahun) di awal ekspedisi kapal Beagle, menuliskan keyakinannya ini:
"I was led by feelings ... to the firm conviction of the existence of God, and of the immortality of the soul... Whilst standing in the midst of the grandeur of a Brazilian forest, it is not possible to give an adequate idea of the higher feelings of wonder, admiration, and devotion which fill and elevate the mind. I well remember by conviction that there is more in man than the mere breath of his body."
Berdiri di tengah keakbaran hutan Amazon yang sepertinya tak berujung, Darwin muda tenggelam oleh keyakinan bahwa manusia lebih dari sekadar napas yang dikandung badan. Intuisinya mengatakan bahwa kita lebih dari sekadar napas, ada jiwa yang kekal dalam setiap insan manusia. Kita semua tahu, berbagai temuannya dalam ekspedisi dan faktor-faktor lainnya pada akhirnya membuat Darwin muda yang religius itu kehilangan imannya.
Saya pribadi tidak tahu apakah intuisi kuat yang kita dan Darwin (sempat) miliki bahwa ada "sesuatu" setelah kita mati adalah benar atau tidak. Intuisi kita umumnya mengatakan bahwa : kita lebih dari sekadar napas di badan ini, ada jiwa dalam setiap kita, eksistensi kita punya arti, semua yang terjadi dalam hidup kita ada alasannya, semua akan baik-baik saja dan indah pada ujungnya.
Namun meskipun, instuisi itu sangat kuat dan kita umumnya sangat menginginkan bahwa intuisi itu terbukti benar, ada sebuah tantangan berat terhadap intuisi tersebut. Tantangan tersebut adalah realitas bahwa hidup dan eksistensi ini absurd.