Jared Diamond dalam buku terbarunya Upheaval dengan brilian mengajukan tesis bahwa kemunculan media sosial menjadi salah satu penyebab terbesar polarisasi di masyarakat. Mungkin ada bertanya apa hubungannya media sosial dengan polarisasi yang terjadi?
Harus diakui bahwa media sosial juga adalah inovasi yang mengagumkan di dekade ini. Dengan media sosial kita bisa terhubung dengan siapapun dan kapanpun di seluruh dunia. Dengan media sosial kita bisa mengetahui isu-isu paling hangat hanya dalam hitungan detik dan dalam genggaman jari. Namun juga tidak dapat disangkal bahwa media sosial di samping segala manfaatnya juga menyimpan banyak efek negatifnya.
Ada banyak riset yang telah mengaitkan media sosial dengan penurunan social skill dari millennial yang menggunakannya dengan rutin. Dan dampak negatif yang akan kita bahas di sini adalah polarisasi di masyarakat. Bagaimana sebenarnya media sosial bisa membelah masyarakat ke kutub-kutub yang berbeda?
Sebelum ada media sosial (yang kerap disebut sebagai new media), televisi, radio, dan koranlah yang menjadi sumber utama informasi bagi setiap kita. Lewat televisi, radio, dan koranlah kita mengetahui peristiwa apa saja yang sedang terjadi baik itu politik, ekonomi, sosial, dan lainnya. Lantas apa yang membedakan media-media ini dengan social media?
Jawabannya adalah kebebasan untuk memilih apa yang ingin dengar, baca, dan tonton. Ketika kita menonton televisi atau membaca koran, pilihan kita sangat terbatas karena kita hanya menikmati apa saja yang disuguhkan. Selain itu media-media lama ini juga disiarkan dengan frekuensi yang umum sehingga semua orang menerima informasi yang sama. Baik saya, keluarga saya, ataupun teman-teman saya ketika menerima informasi dari tv, koran, dan radio umumnya akan menangkap pesan yang sama.
Media sosial memberikan kemewahan yang tidak dimiliki oleh media-media tradisional yaitu kebebasan untuk memilih informasi yang mau kita dengar, baca, atau tonton. Di Twitter dan Instagram, lewat fitur follow kita memilih siapa saja dan topik apa saja yang mau kita ikuti. Di Youtube, lewat fitur subsciribe kita memilih channel yang paling kita sukai.
Singkatnya dengan menggunakan media sosial, kita akan semakin terikat dan attached dengan pandangan, figur, dan ide tertentu yang sengaja kita ikuti karena kita menerima banjir informasi dari sudut pandang tersebut setiap harinya. Di sisi lain keluarga saya, teman saya, tetangga saya masing-masing menerima banjir informasi dari sudut pandang lainnya sesuai figure, ide ataupun pandangan yang mereka pilih untuk ikuti di media sosial.
Akibatnya kita yang menjadi sangat terattached dengan seorang figur politik ataupun sebuah ideologi menjadi sangat alergi dengan perbedaan pendapat. Kita menjadi semakin intoleran dengan figure politik lain atau ideologi lain yang diikuti oleh orang lain. Hal inilah yang membuat media sosial sebagai ladang subur bagi polarisasi di masyarakat.
Lantas di tengah-tengah menguatnya polarisasi adakah yang bisa kita lakukan agar kita bisa bergerak lebih ke tengah untuk melihat segala sesuatu dengan lebih objektif? Adakah yang bisa kita lakukan untuk menjadi lebih toleran dan menghargai ide, figur, dan pandangan yang diyakini dan dikagumi oleh kubu lain? Adakah yang bisa kita lakukan agar kita tidak menjadi partisan fanatik yang dibutakan oleh kebencian terhadap kubu lain? Ada dan caranya sederhana.
Uniknya caranya justru bisa kita lakukan dengan menggunakan media sosial. Mulailah perluas lingkaran dan cakupan isu dan figur yang anda ikuti di media sosial. Jika Anda pendukung pemerintah marilah mulai melihat kritik dari oposisi dari sisi yang objektif dan menggunakan kepala dingin. Jika kita bisa adil sejak dalam pikiran, kita pasti akan menemukan bahwa sebenarnya ada banyak hal yang masuk akal dari gagasan dan pandangan dari kubu yang berlainan dengan kita.
Sebaliknya untuk Anda yang oposisi terhadap pemerintah, mari coba adil sejak dalam pikiran dan melihat bahwa sebenarnya di samping banyak problem yang masih ada, pemerintah juga menghasilkan banyak dampak positif dan membuat kemajuan.