Mohon tunggu...
Politik

Mencari Indahnya Keberagaman...

15 Februari 2017   00:10 Diperbarui: 15 Februari 2017   00:28 7508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Keberagaman di Indonesia itu sangat indah. Orang-orang dari berbagai latar belakang suku, budaya, dan agama menghiasi pulau-pulau di Indonesia yang tak terhingga jumlahnya. Uniknya, warna-warni keberagaman itu semakin dipercantik dengan sikap saling menghormati dan tenggang rasa, dimana masyarakat Indonesia hidup berdampingan, melihat keberagaman dengan sudut pandang yang positif dan tidak pernah membeda-bedakan. Ya, setidaknya begitulah Indonesia, beratus-ratus tahun yang lalu!

Sekarang, keberagaman di Indonesia dapat dibilang tidak seindah yang dulu lagi. Memang, keberagaman tersebut masih ada, namun hanya sedikit dari kita yang sudah menyikapinya dengan bijak. Sebagai contoh, saya akan mengangkat salah satu keberagaman budaya Indonesia asli Papua yakni pakaian koteka. 

Saya berani jamin, pasti banyak dari antara kita yang menganggap pakaian tersebut tidak pantas dan tidak senonoh. Bahkan, mungkin beberapa dari kita malah menjadikan salah satu keberagaman tersebut sebagai bahan tertawaan dan ejekan. Karena bagi kita, berpakaian yang pantas adalah dengan kaus kemeja dan celana, seperti yang digunakan oleh orang-orang bule di luar sana. Nah, kalau semua orang harus berpakaian seperti itu, akankah ada keberagaman? Di sinilah masalah terbesar orang Indonesia dalam menyikapi indahnya keberagaman: etnosentrisme yang berlebihan, selalu menilai kebudayaan lain dengan tolak ukur kebudayaan sendiri.

Masalah keberagaman kita tidak berhenti sampai di situ. Pernahkah Anda mendengar ungkapan begini: “Orang Batak itu kasar dan agresif”, “Oh dia orang Jawa, ya. Pantas dia lamban dan masa bodoh!”, atau “Dasar orang Tionghoa! Pelit dan tidak sabaran!” Dengan memberikan contoh-contoh tersebut, saya bukannya ingin menjelek-jelekan etnis manapun di Indonesia, toh saya sendiri pun juga memiliki darah Jawa. Namun, saya hanya ingin menggambarkan betapa orang Indonesia seringkali memiliki rasa kebanggaan yang berlebihan terhadap etnisnya, bahkan sampai bersikap primordial dimana selalu menganggap etnis sendiri paling baik, paling ramah, ataupun paling dermawan di antara etnis lainnya. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia belum dapat menerima keberagaman serta selalu memandang sisi negatif dari keberagaman itu sendiri.

Padahal sesungguhnya perbedaan karakter dari berbagai etnis di Indonesia itu tidak akan menjadi sebuah masalah, apabila setiap pihak bisa saling memahami dan menyempurnakan. Mau contoh? Lihat saja salah satu pasangan calon pada Pilkada DKI 2017 yang sedang berlangsung ini. Mana lagi kalau bukan yang bernomor 2, Ahok dan Djarot. Ya, keduanya punya latar belakang budaya yang berbeda: satu Tionghoa dan satunya lagi Jawa, namun buktinya dari tahun 2014 sampai sekarang, keduanya telah berhasil menciptakan perubahan-perubahan dan terobosan yang mungkin saja tidak pernah terpikirkan oleh pasangan gubernur-wakil lainnya yang bahkan berasal dari satu etnis yang sama.

Masih tentang Ahok, walaupun beliau sudah berhasil menjadi pemimpin yang membawa perubahan-perubahan bagi kemajuan DKI Jakarta, kita tetap tidak bisa memungkiri fakta bahwa agama Kristen dan etnis Tionghoa memang merupakan minoritas di Jakarta, dan gubernur-gubernur DKI yang menjabat sebelum Ahok semuanya menganut agama Muslim (Non-Kristen) dan berdarah pribumi, sehingga tidak semua pihak dapat dengan mudah menerima bahwa mereka dipimpin oleh Ahok. 

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia belum bisa lepas dari budaya politik tradisional dimana mereka belum dapat meninggalkan karakter etnis tertentu atau pendasaran pada agama tertentu dalam berpolitik. Padahal, apa pengaruhnya agama dan etnis pemimpin dalam menjalankan pemerintahan? Bukankah kompetensi dan motivasi pemimpin yang lebih penting?

Nah, dari serangkaian contoh kasus tadi, sekarang giliran kita yang ditantang untuk menyikapi keberagaman di Indonesia secara positif. Bagaimana cara mewujudkannya? Mari kita ingat-ingat lagi pelajaran yang kita dapat sewaktu masih duduk di bangku SD dulu, seperti tentang Bhinneka Tinggal Ika dan saling menghormati tanpa membeda-bedakan suku atau agama. Selain itu, wujud nyata yang dapat dilakukan adalah seperti menyalami tetangga yang beda agama saat merayakan hari keagamaannya dan aktif bergabung dalam acara RT/RW sekalipun mayoritas warga di sana berbeda suku dan agama dengan kita. 

Sebentar lagi beberapa dari kita juga akan memilih pasangan gubernur dan wakil gubernur dalam Pilkada, dengan memilih calon pemimpin berdasarkan kecakapan kompetensi, pengalaman, program, dan motivasi masing-masing dibandingkan faktor etnis dan agama, berarti kita telah merawat perbedaan dan keberagaman yang kita miliki sebagai sesuatu yang perlu kita jaga dan lestarikan bersama.

Karena sesungguhnya, perbedaan, keberagaman, dan kebhinekaan inilah yang melahirkan Bangsa Indonesia. Tanpa keberagaman, Indonesia bukanlah Indonesia. Maka, cintailah dan peliharalah keberagaman kita, jangan biarkan salah satu dari kita menghancurkan jati diri kebhinekaan kita sebagai Bangsa Indonesia yang telah kita bangun sejak lama, agar keberagaman dan kebhinekaan kita bisa lebih indah dan kian berwarna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun