Ada yang ambivalen pada tulisan opini yang dimuat oleh Harian Kompas (1/7). Seperti telah diketahui bersama penulis opini adalah B Herry Priyono seorang romo dan dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. STF Driyarkara dan Kompas seirisan dan tentunya telah berpihak kemana pada pilihan presiden tanggal 9 Juli 2014.
Ada tiga hal yang diungkapkan oleh Herry bahwa untuk memilih pemimpin itu harus dilihat pada nafsu berkuasa yang dipertunjukkan, setia pada perkara kecil, dan habitus kepemimpinannya. Dan untuk ketiga kriteria itu Prabowo tidak bisa memenuhi untuk dipilih karena nafsu berkuasanya yang teramat besar, tidak setia pada perkara kecil sehingga bagaimana mungkin akan setia pada perkara besar sedangkan pada perkara kecil saja tidak setia, serta yang terakhir adalah habitus kepemimpinan yang antara lain militeristik dan megalomania tidaklah baik menurut Herry.
Sayangnya Herry terlalu subyektif dan tidak ada variabel ajeg ketika menilai bahwa Prabowo dianggap sebagai orang yang punya nafsu menggelegak terhadap tahta. Cuma hanya dengan variabel subyektif berupa Prabowo yang militer dan dekat dengan penguasa orde baru. Karena menurutnya ketika ambisi terhadap tahta itu dominan maka benih kediktatoran dan tirani dapat dilahirkan. Dalam alam demokrasi ambisi terhadap tahta menurut saya sah-sah saja asalkan ia telah mengikuti aturan main yang berlaku. Karena dengan asumsi bahwa mereka—para peserta pilpres—akan membawa tahta itu menuju ke arah kebaikan.
Lain soal ketika ambisi merebut tahta itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara dan tidak memenuhi aturan demokrasi yang berlaku. Assisi di Mesir—sebagai contoh nyata—telah membuka topengnya sebagai penguasa ambisius dan pembunuh berdarah dingin karena menciderai proses demokrasi itu sendiri dengan melakukan kudeta. Sayangnya kudeta tersebut diaminkan oleh sekelompok pendukung sekulerisme yang kini berada di balik Jokowi.
Dan Jokowi menurut saya pun punya peluang yang sama untuk bersikap tiran dan diktator. Bukankah seperti yang dikatakan oleh Jhon Dalton-Acton, ”Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.” Tetapi konstitusi kita saat ini telah mencegah hal ini terulang dengan pembagian kekuasaan dalam trias politika secara jelas. Jadi ketika konsitusi telah cukup untuk membagi kekuasaan tersebut, semua orang tidak punya peluang lagi bersikap diktator dan tirani. Maka pendapat Herry di sinilah menjadi ambivalen.Atau hanya sekadar pada siapa pendukung-pendukung di balik calon presiden pada saat ini? Maka kalau hal yang seperti ini menjadi variabel ukuran, bahkan Jokowi punya peluang yang sama dengan keberpihakan para pendukungnya yang punya catatan jejak rekam yang tidak bisa dibilang ringan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Sayangnya Herry dengan parameter subyektifitasnya sudah memvonis dini terhadap Prabowo dalam opininya bahwa Prabowo punya peluang untuk mengancam pemilih, memalsu surat suara, dan kotak suara.Padahal kalau dilihat jejak rekam partai pengusungnya kita bisa tahu siapa yang punya peluang besar dalam mengancam dan melakukan kecurangan-kecurangan tersebut?
Herry pun menyoal kesetiaan Prabowo terhadap perkara kecil. Karena menurut Herry bagaimana mungkin seorang yang tidak setia pada perkara kecil dapat setia pada tugas yang besar. Ia menyatakan, “Seorang pemimpin besar hanya dapat kita temukan dengan mengenali bukti kesetiaannya pada perkara dan tugas lebih kecil yang pernah diemban.” Padahal kalau kita mempunyai nurani dan memakai akal sehatnya maka pernyataan dan pertanyaan yang sama dapat disampaikan kepada Jokowi siapa yang tidak setia pada tugasnya memimpin Kota Solo dan Kota Jakarta? Maka nurani kita akan menjawabnya dengan gamblang.
Padahal kesetiaan itu dimulai dari ketika ia diangkat menjadi pejabat dengan sumpah di bawah kitab suci yang mulia. Siapa yang menciderai sumpah? Siapa yang tidak setia? Maka ia yang tidak setia terhadap perkara dan tugas berskala lebih kecil bukanlah orang yang layak dipilih memimpin Indonesia. Tegas Herry. Cocok. Herry menyatakan dengan tegas siapa yang tidak layak memimpin Indonesia.
Perlu diketahui bahwa apa yang dinyatakan oleh Herry tentang kesetiaan terhadap perkara kecil merupakan landasan teologis yang didasarkan pada Matius 25:21, barangsiapa setia dalam perkara kecil akan diberi tanggung jawab dalam perkara yang besar. Serta menjadi poin yang dinyatakan tegas oleh gereja dalam Panduan Memilih dalam Pemilihan Umum 9 Juli 2014.
Dan ambivalensi terakhir yang dipertunjukkan secara nyata oleh Herry adalah pada soal habitus kepemimpinan. Katanya, cukuplah habitus kepemimpinan pemerintahan itu terbukti pada lingkup dan skala lebih kecil.Bagian terakhir ini sebenarnya kelanjutan dari bagian kedua di atas yang dipertanyakan oleh Herry. Maka sudah cukup tidaklah membahas secara panjang lebarnya ketika kita tahu siapa yang tidak setia dan siapa yang memiliki habitus kepemimpinan yang tidak baik. Dengan memakai hipotesisnya bahwa yang tidak setia pada lingkup kecil maka tidaklah mempunyai habitus kepemimpinan yang baik maka kita akan mampu menjawabnya dengan nalar yang logis dan nurani yang bersih.
Ada satu catatan terakhir terhadap opini Herry adalah terminologi yang digunakannya. Butet menggunakannya beberapa hari sebelumnya yakni terminologi kewarasan. Mereka berdua sama-sama menganggap sebagai sebuah kegilaan ketika rakyat memilih lawan Jokowi. Dengan Kini menjadi terang benderang irisan-irisan kesamaan antara B Herry Priyono dengan Butet Kertaradjasa. Sama-sama Katolik. Sama-sama menjual nalar intelektualitas mereka pada kerumunan penuh “gumun”.
Maka kita pun sadar, pada hari ini, mereka panik. Mereka masif menyiram media sosial dengan berbagai macam opini. Tentu sentimen keagamaan menjadi komoditasyang mudah diperjual-belikan dan dipantik dalam kekerasan verbal yang dibalut pada topeng kesantunan.Topeng yang mudah terbaca dalam kerumunan media sosial saat ini. B Herry Priyono hari ini telah menunjukkannya dengan jelas. Namun penuh ambivalensi.
***
Albertus Kondologit
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H