Cerpen pertama saya berjudul Kakek, Apa Arti Akhir?
Pengantar:Â
Badan Layu, Jiwa Kokoh. Apa yang muncul pertama kali di pikiran anda saat kalimat ini muncul? Badannya menolak untuk melakukan, namun jiwanya berkorbar memaksa untuk berjuang. Tentu kita teringat perjuangan dari beberapa orang seperti tentara yang mengusir penjajah dari tanah air kita, orang tua kita yang telah menjaga kita sampai besar. Namun apa yang terjadi bila orang itu saja tidak bisa melakukan apa-apa lagi namun jiwanya tetap ada? Inspirasi cerita ini diambil dari perjuangan kakek saya yang masih menjadi kepala rumah tangga dan cerita motivasi lainnya.
Bagian 1
Badan Layu, Jiwa Kokoh
Angin kencang, jalan licin, mobil mogok, banyak sekali masalah kami untuk pergi ke luar kota. Saya Alya, berpergian dengan ayah saya, seorang pejabat yang bersumpah hidupnya tidak akan pernah korupsi sekalipun, seberapa beruntungnya memiliki ayah seperti ini. Dapat menafkahi keluarganya meskipun ibu telah meninggalkan dunia ini sudah begitu lama.
Ayahku telah berumur 45 tahun, ia sudah 2 tahun pensiun. Aku dipaksa oleh ayahku untuk meninggalkan pendidikanku di SD yang tentu mengurangi harapanku untuk mencapai cita-citaku, menjadi orang kaya super rich. Ayahku memutuskan untuk pergi ke rumah ayahnya untuk tinggal sementara bersamanya karena kondisi kesehatannya yang mulai memburuk. Waktupun berlalu begitu lama, saya mulai mempertanyakan apakah kakek saya hidup di sebuah hutan terpencil. Lamanya duduk di mobil membuat kaki saya kesemutan dan pegal namun saya sabar karena adanya pandangan matahari terbit di kiriku.Â
Namun tidak lama, ayahku parkir di sebuah desa, desa itu tidak memiliki nama dan terlihat sepi. Para penduduk disana menatap kami terus menerus seperti mereka tidak pernah melihat orang kota. Ayahku mengatakan untuk mengikutinya terus menerus dan jangan pedulikan mereka karena mereka tidak pernah melihat anak perempuan berpakaian baju merah. Aneh, itulah yang dipikiranku, apa pakaian merah disini dianggap sakti atau kutukan? Tanpa bertanya, ku ikuti ayahku menuruni gunung melewati tangga yang ukurannya tidak lebih dari kakiku, aku melihat ayahku turun begitu cepat tanpa rasa takut. Ayahku pun mengatakan bahwa aku bukan orang desa, beraninya dia meremehkanku pikirku.
Aku mulai turun dengan cepat dan sampai ke bawah, ayahku kemudian membawaku melewati hutan lembah untuk pergi ke pantai. Saat aku melihat pantai itu, aku terkejut karena keindahan matahari terbitnya, disini matahari terlihat lebih besar! Unjuk rasaku. Ayahku mengatakan "Baguskan? Di kota ga ada yang beginian". Setelah merenung sebentar, aku kembali ke tujuanku untuk menemui kakekku. Namun anehnya pantai ini memiliki banyak perahu rusak, seperti terkena ombak. Lumut memenuhi setengah dari kapal-kapal itu "Ayah, kenapa banyak kapal yang hancur?", ayahku awalnya diam saja namun ia kemudian menjawab "Kapal-kapal ini sudah lama tidak pernah digunakan dan ditinggalkan begitu saja." Jawab dia. Aku bertanya kembali beberapa hal, namun ayah saya tidak mau menjawab lagi, ku berpikir ayah pasti sedang galau. Suami yang kehilangan istrinya 2 tahun setelah pernikahan adalah hal yang sakit, karena hal itu aku tidak berani untuk kepo lagi.
Sekian menit berlalu, melintasi bangkai-bangkai pohon rusak, melewati sampah-sampah, dan dikejar oleh kepiting. Ada rumah terlihat tua muncul di pandanganku, ayahku berkata bahwa itu adalah rumah kakekku. Akupun dengan semangat berlari menuju rumah itu sebab aku tidak pernah melihat muka kakekku sendiri. Saat tiba di depan pintu rumah kakekku itu, aku menjadi kecewa dan semangatku hilang. Hampir setiap sudut rumah ini memiliki jaring laba-laba, lumut di pegangan pintunya, dan bahkan ada jendela yang setengahnya hilang seperti sehabis dimakan rayap. Aku saja takut untuk membuka pintu itu karena aku berpikir itu jijik, namun ayahku datang dan berkata padaku untuk tidak berbicara dengan suara kencang atau membuat suara kencang karena bisa saja kakekku sedang tidur, aku mengangguk kepalaku dan ayahku pun membuka pintu itu, setelah dibuka ternyata rumah itu sangat kecil dan sama seperti luarnya, keduanya sangat jorok! Listrik saja tidak ada, kakekku orang pribumi apa? Kemudian ada suara keras bergema sepanjang ruangan, karena kupikir itu kakek, aku memanggil "Kakek!", bodohnya aku, akupun digebuk kepalanya oleh ayahku karena telah melanggar aturannya untuk tidak berbicara keras. Aku menjadi kesal dan menekankan bahwa kakek pasti bangun karena ada suara orang lain datang dari ujung ruangan. Saya juga mendengar suara gesekan, saat saya investigasi ternyata ada orang sedang duduk di ujung ruangan di kursi goyang itu. Ternyata suara gesekan itu dari kursi goyang itu, saat aku datang untuk melihat lebih jelas sebab ruangannya hanya memiliki 3 lilin. Setelah didekati orang itu ternyata sangat tua, mukanya pucat, matanya setengah ditutup, dan kulitnya sangat coklat.Â
Ayahku kemudian datang dan memberi salaman kepada orang itu dan memperkenalkan aku kepada orang tua itu. Orang tua itupun langsung memeluk saya dan melontarkan banyak pertanyaan, terutama tentang kota. Aku menceritakan hampir semua cerita kehidupanku kepadanya saat berada di kota. Kakekku tersenyum terus menerus dan mendengar cerita ku dengan seksama sedangkan ayahku pergi keluar untuk mencari padi di ladang.Â