“It’s hard to start writing again, sometimes”.
Sekolah Aparat, 19 Juli 2016, 8.26PM.
Inspirasi bisa datang dari mana saja. Terbukti, aku menulis ini hanya karena melihat wajah seorang lawan jenis yang sangat sulit dilupakan. Walaupun tidak melihatnya secara langsung, melainkan melalui media sosial. Orang jatuh hati memang aneh. Ia seketika dapat berubah menjadi sosok yang berbeda. Tapi aku rela membiarkan diriku berubah ketika jatuh cinta. Dengan catatan berubah dalam artian positif.
Eitsss, sesaat lalu aku hampir lupa senyumannya. Tapi dengan mudahnya teringat kembali dengan indahnya senyuman itu. Alasannya sederhana, senyumannya mencerminkan keteduhan. Seakan tidak ada masalah yang dialaminya saat foto dalam media sosial itu diabadikan. Ahh ini mungkin hanya perasaanku saja. Namanya juga sedang jatuh cinta. Dasar Homo Sapiens.
Kadang bersyukur dengan adanya media sosial, terutama media sosial yang satu ini. Media sosial yang mengedepankan foto sebagai ke-khas-an-nya dari media sosial lainnya. Media sosial yang menagih ketukan dua kali untuk menunjukan bahwa kita menyukai salah satu fotonya. Entah sudah berapa kali aku menjentukan 2 kali jariku di akun perempuan yang satu ini. Untuk menunjukan bahwa aku suka.Suka dengan gambar itu dan juga orang yang di dalam gambar itu. Suka pada simpul senyuman yang dihiasi lesung pada pipinya.
Ahh, mungkin buat orang lain, perempuan ini tidak semenarik itu. Atau selebay aku mendeskripsikan senyumannya. Tapi itulah seninya jatuh cinta. Kita melupakan pendapat orang lain dan lebih memilih meng-iya-kan suara hati soal paras orang yang kita sukai.
Aku percaya bahwa segala yang dirasakan oleh manusia merupakan anugerah dari Tuhan. Begitu pula dengan perasaan jatuh cinta. Tuhan memberikan kita anugerah untuk mengalami suatu perasaan itu pastinya bukan tanpa maksud. Supaya kita mensyukuri bahwa Tuhan telah menciptakan suatu wujud mahakarya hampir sempurna. Wujud yang membuat kita jatuh cinta. Pada simpul senyuman berlesung pipi itu.
“Smile made it’s better”, caption di salah satu fotonya. Yap, benar banget sih. Senyummu membuat perasaanku dan juga orang yang melihatnya merasa lebih baik. Meneduhkan. Seperti berada di bawah pohon saat matahari sedang tegak – tegaknya. Seperti naik taksi ber-AC setelah turun dari metro mini yang memeluhkan. Lesungan pipi itu membuatku merasa seperti saat meminum air setelah berjalan di gurun seharian. Menyegarkan. Bolehkan kudapat senyuman itu lagi ?
Sampai disini dulu tulisan ini. Kehabisan kopi membuatku bingung hendak menyeruput apa lagi dari mug keramik ini. Lagi pula aku tak mau semakin tenggelam dalam relungan lesung pipimu itu. Aku harus cari penawarnya dulu. Sebelum kuakhiri, harus kuakui bahwa nikmatnya menulis dan membayangkan senyummu sambil menikmati segelas kopi, ditemani hembusan angin dingin khas sekolah aparat ini.
Terima Kasih, Gusti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H