Mohon tunggu...
Albert Christianto
Albert Christianto Mohon Tunggu... follow me @albertchristianto13

Educator & content creator di bidang bahasa Inggris, spesialis IELTS dan TOEFL. Penulis eBook "Tenses Made Easy" dan pengembang kursus digital IELTS Mastermind. Fokus pada pengembangan produk edukasi berkualitas dan membantu siswa mencapai target mereka dengan strategi yang praktis dan terstruktur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Grammar dan Aku: Hubungan Rumit yang Akhirnya jadi Asyik

7 April 2025   15:00 Diperbarui: 7 April 2025   14:31 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku tidak tahu kapan tepatnya aku mulai takut dengan grammar. Mungkin sejak pertama kali aku ditegur karena salah pakai tense dalam sebuah kalimat. Atau mungkin sejak setiap latihan grammar terasa seperti ujian tak berujung yang selalu berakhir dengan coretan merah.

Yang aku tahu pasti, grammar dan aku punya hubungan yang rumit. Semacam love-hate relationship. Aku tahu aku membutuhkannya, tapi setiap kali mencoba mendekat, aku merasa ditolak.

Berulang kali aku duduk berjam-jam, menatap tumpukan rumus dan tabel yang katanya harus kuhafal. Present perfect, past perfect, future perfect---semuanya terdengar seperti mantra dari dunia lain. Makin keras aku mencoba mengerti, makin jauh aku tersesat dalam lautan formula. Bukannya merasa pintar, aku justru merasa gagal. Dan saat itu, diam-diam aku mulai percaya: mungkin aku memang tidak berbakat.

Ada masa di mana aku merasa grammar adalah tembok tinggi yang memisahkanku dari kefasihan. Tembok itu kokoh, dingin, dan menjulang---membuatku merasa kecil. Aku bisa memahami tulisan-tulisan dalam bahasa Inggris. Aku bisa menikmati film, lagu, bahkan ikut diskusi ringan. Tapi setiap kali aku harus menulis atau berbicara dengan struktur yang "benar", semuanya runtuh. Aku kehilangan kata, kehilangan kepercayaan diri.

Sampai pada suatu hari, aku lelah. Bukan lelah belajar, tapi lelah merasa tidak cukup. Aku berhenti menekan diriku untuk sempurna. Aku berhenti menuntut diriku menguasai semua rumus sekaligus. Dan di titik itu, semuanya berubah.

Aku mulai belajar dengan cara yang lebih manusiawi. Aku mulai menerima bahwa kesalahan adalah bagian dari proses. Aku membaca, bukan untuk menghafal, tapi untuk merasakan ritme kalimat. Aku menulis, bukan untuk menguji diriku sendiri, tapi untuk bercerita. Aku tidak lagi menjadikan grammar sebagai penjara, tapi sebagai jembatan untuk mengekspresikan diri.

Pelan-pelan, tembok itu mulai runtuh.

Grammar bukan lagi sesuatu yang menakutkan. Ia mulai terlihat seperti teka-teki yang seru dipecahkan. Aku mulai memahami bahwa setiap tense punya nuansa, bukan hanya fungsi. Bahwa menggunakan grammar yang tepat bukan soal jadi "pintar", tapi soal menghargai lawan bicara. Grammar menjadi seni dalam menyampaikan maksud, dengan irama dan kepekaan.

Kini, setiap kali aku mengajar, aku sering teringat masa-masa itu. Masa di mana aku hampir menyerah. Karena aku tahu, banyak orang yang mengalami hal serupa. Mereka takut salah. Mereka malu bertanya. Mereka berpikir mereka bodoh---padahal mereka hanya belum menemukan cara yang cocok.

Dan karena itu, aku menulis.

Aku menulis untuk mereka yang sedang tersesat, seperti dulu aku tersesat. Aku menulis Tenses Made Easy bukan hanya sebagai buku panduan, tapi sebagai teman perjalanan. Buku ini bukan sekadar kumpulan rumus dan latihan soal. Ini adalah upayaku menjembatani jarak antara rasa frustasi dan rasa paham. Antara bingung dan yakin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun