Mohon tunggu...
Albert Buol
Albert Buol Mohon Tunggu... Pelajar -

Blogger : http://albertbuol.blogspot.com Twitter : Albert_Buol_21 FB : Albert Buol

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Aku Dilahirkan Bukan untuk Kekerasan

13 Oktober 2015   18:42 Diperbarui: 13 Oktober 2015   18:58 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Di ujung rotan ada emas” itulah bunyi sebuah pepatah tua yang telah di kenal sejak jaman dulu. Bagi anak-anak bandel ataupun yang melakukan kesalahan, rotan menjadi “makanan wajib” bagi mereka. Dari pepatah inilah muncul sebuah siklus atau rantai kebencian dan dendam. Akibatnya, anak-anak kita menjadi korbannya. Dimana banyak orang tua yang mau anaknya merasakan apa yang mereka rasakan dulu. Siklus ini seperti lingkaran iblis, yang tidak pernah ada ujungnya.

Sejak adanya UU No. 23 tahun 2004, dimana UU ini mengatur tentang kekerasan, kita sebagai makhluk bermoral hendaknya mulai membuka pikiran, mata, dan hati kita terhadap kekerasan ini. Jika kita berani memulai dengan katakan “tidak”, maka generasi penerus bangsa selanjutnya tidak perlu menjadi korban kekerasan. Karena dampak dari kekerasan ini sangatlah besar, terutama bagi suatu bangsa. Suatu bangsa akan berdiri kuat jika memiliki dasar yang kuat. Dimanakah dasar negara ini ketika generasi muda mulai mati?

Kekerasan di Indonesia sejak 2011 tercatat sudah terjadi 5 juta kasus dari sepanjang tahun 2011 hingga oktober 2012 menurut Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sosial Budaya Lemhannas, Sudaryono. Angka yang cukup tinggi ini memang cukup membuat kita berpikir, dimanakah keadilan? Dimanakah para penegak hukum yang ada?

 

Para psikolog berpendapat bahwa salah satu faktor munculnya kekerasan dalam masyarakat adalah pengaruh media massa. Dalam masa sekarang ini, media audio, media visual, dan media cetak, menyusupkan berbagai macam tindak kekerasan dalam sajian mereka. Dulu, masyarakat hanya dapat menyaksikan kekerasan hanya jika mereka ada disekitar lokasi kejadian. Namun saat ini, siapapun dapat menyaksikan tindak kekerasan dalam tayangan televisi. Bahkan, tayangan seperti dramatisasi kriminalitas, olahraga kekerasan, dan semacamnya kini menjadi salah satu acara yang paling diminati oleh semua orang.

Seorang anggota lembaga psikolog AS, Arnold Cohen, berpendapat bahwa masalah pengaruh kekerasan yang ditayangkan di televisi sama dengan masalah dampak rokok yang menyebabkan penyakit kanker. Artinya, meski banyak program yang digalakkan untuk memberikan arahan kepada masyarakat tentang bahaya rokok, namun jumlah para perokok terus meningkat. Dan hal itu juga terjadi dalam masalah kekerasan. Tayangan televisi dan film yang menggambarkan dampak buruk dari tindakan kekerasan ternyata tidak mampu mencegah meningkatnya kekerasan.
Tak diragukan lagi bahwa salah satu faktor meluasnya tindak kekerasan dalam masyarakat modern ini adalah pengaruh media massa. Para psikolog berpendapat bahwa penggunaan narkoba, pil koplo, dan alkohol, juga merupakan faktor munculnya kekerasan. Faktor lain yang tak kalah pentingnya adalah kemiskinan dan kesenjangan sosial. Masih banyak lagi sebab dan faktor lainya termasuk pengaruh lingkungan. Semua itu akan menimbulkan ketidakseimbangan penalaran, perasaan, dan kejiwaan masyarakat. Oleh karena itu, banyak hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk menanggulangi perluasan kekerasan dalam masyarakat.

 

Dimanakah letak kesalahan media dalam memberitakan kekerasan? Johan Galtung, profesor studi perdamaian Norwegia mencatat ada 12 keprihatinan yang membuat jurnalisme seringkali salah dalam memberitakan kekerasan, ke-12 keprihatinan itu adalah

  1. Kekerasan yang dekontekstual: berfokus pada hal irasional tanpa melihat alasan tentang konflik yang tidak terselesaikan dan polarisasi.
  2. Dualisme: Mengurangi jumlah pihak yang berkonflik menjadi dua , padahal seringkali banyak pihak terlibat. Cerita hanya berpusat pada perkembangan internal, seringkali mengabaikan pihak luar atau kekuatan “eksternal” (misalnya kekuatan asing dan perusahaan multinasional)
  3. Manicheanisme: melukiskan satu pihak sebagai yang baik dan yang lain sebagai pihak yang “jahat”.
  4. Armageddon: menyajikan kekerasan sebagai alternatif yang tidak dapat dihindar dan dihilangkan.
  5. Berfokus pada tindakan kekerasan individu, sementara mengabaikan sebab struktural, seperti kemiskinan, kelalaian pemerintah dan represi militer atau polisi.
  6. Kebingungan (confusion): berfokus hanya pada arena konflik (misalnya medan tempur atau lokasi peristiwa kekerasan)),tapi tidak pada kekuatan2 dan faktor2 yang mempengaruhi kekerasan itu.
  7. Memilah dan mengabaikan: tidak pernah menjelaskan mengapa terjadi tindakan balas dendam dan spiral kekerasan.
  8. Gagal melakukan investigasi mengenai sebab peningkatan dan dampak pelaporan media itu sendiri.
  9. Gagal melakukan investigasi mengenai tujuan intervesionis luar, terutama negara2 besar.
  10. Gagal melakukan investigasi mengenai proposal perdamaian dan tawaran citra damai.
  11. Bingung mengenai gencatan senjata dan perundingan dengan perdamaian yang aktual.
  12. Mengabaikan rekonsiliasi: konflik cenderung pecah lagi apabila tidak diperhatikan upaya rehabilitasi masyarakat yang sudah terpecah. Apabila upaya menyelesaikan konflik tidak ada, maka fatalisme makin diperkuat. Hal itu dapat mengakibatkan bahkan lebih keras, apabila orang tidak lagi memiliki gambaran atau informasi tentang kemungkinan perdamaian dan rehabilitasi.

Dampak dari kekerasan yang diterima korban sangatlah besar. Dimana para korban nantinya akan menjadi trauma dengan siapa saja akibat perlakuan kekerasan yang ia terima. Atau bisa jadi sang korban malah akan menurunkannya ke dalam hidupnya, sehingga setiap kali marah maka kekerasanlah jawabannya. Para korban juga akan menjadi pribadi yang pendendam pada setiap orang yang berbuat salah padanya, sehingga kelakuan nekat mungkin saja terjadi. Sikap egois juga nantinya akan menjadi salah satu sifat korban kekerasan, karena bagi mereka sendiri itu lebih baik daripada harus memperhatikan orang yang dimana nantinya orang itu bisa saja melakukan kekerasan padanya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun