Mohon tunggu...
Albert Chandra
Albert Chandra Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Universitas Mercubuana

Albert Chandra Junior - 41522110044, Fakultas Ilmu Komputer, Teknik Informatika, PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DAN ETIK UMB - APOLLO, PROF. DR, M.SI.AK

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Metafora The Ring of Gyges, dan Fenomena Korupsi di Indonesia

13 Juni 2024   17:25 Diperbarui: 13 Juni 2024   17:25 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Korupsi di Indonesia: Sebuah Realitas

Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang memiliki tingkat korupsi yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Indonesia sering berada di peringkat yang rendah, menunjukkan masalah serius dalam hal integritas dan transparansi di sektor publik.

Fenomena korupsi di Indonesia bisa dilihat dalam berbagai bentuk, mulai dari suap, pemerasan, nepotisme, hingga penyalahgunaan anggaran publik. Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi negara, pengusaha, dan bahkan anggota parlemen sudah menjadi berita sehari-hari. Banyak dari mereka yang menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk keuntungan pribadi, tanpa mempertimbangkan dampak negatif terhadap masyarakat luas.

 Menghubungkan The Ring of Gyges dengan Korupsi di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, metafora "The Ring of Gyges" relevan dalam memahami perilaku para pelaku korupsi. Banyak pejabat dan elit politik yang, seperti Gyges, memiliki "cincin" yang memungkinkan mereka untuk bertindak tanpa terdeteksi. Cincin ini bisa berupa kekuasaan politik, jaringan koneksi yang luas, atau kelemahan sistem hukum yang memungkinkan mereka untuk lolos dari hukuman.

 1. Kekuasaan dan Kekebalan

Seperti yang digambarkan dalam cerita Gyges, kekuasaan yang besar cenderung korupsi. Pejabat publik dan politisi di Indonesia sering kali memiliki akses ke sumber daya dan kekuasaan yang besar. Dengan kekuasaan ini, mereka bisa memanipulasi sistem hukum dan administratif untuk melindungi diri mereka sendiri dari konsekuensi hukum.

 2. Ketidakadilan Sistemik

Sistem hukum di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk korupsi di lembaga penegak hukum itu sendiri. Ketidakmampuan atau ketidakmauan untuk menegakkan hukum secara adil menciptakan lingkungan di mana pelaku korupsi merasa aman dan kebal terhadap hukum. Ini memberikan mereka "cincin tak terlihat" yang memungkinkan mereka untuk terus melakukan tindakan korupsi tanpa rasa takut akan tertangkap.

 3. Budaya dan Norma Sosial

Selain kelemahan sistemik, budaya dan norma sosial juga memainkan peran penting. Dalam beberapa kasus, tindakan korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar atau bahkan diperlukan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Budaya patronase dan nepotisme yang kuat di Indonesia juga mendukung tindakan korupsi, karena loyalitas terhadap kelompok atau keluarga sering kali lebih diutamakan daripada integritas dan keadilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun