Setelah reformasi, mekanisme pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, dengan  otonomi daerah diharapkan jalannya pemerintahan menjadi bottom-up yang mengakar pada pembangunan di wilayahnya, dengan kata lain membangun dari desa/kelurahan.Â
Karena setiap wilayah punya masalah yang berbeda-beda, dengan sistem pemilihan langsung/ pilkada,  one man one vote ( meskipun ini banyak perdebatan ), diharapkan pemimpin terpilih di daerah lebih paham masalahnya dan tepat untuk mengeksekusi program sesuai kebutuhannya dan menjadi problem solving di wilayahnya.
Terlepas mekanisme pilkada dan mahalnya biaya politik, alhasil pemimpin yang dihasilkan melalui pilkada tidak mampu menjalankan pemerintahan yang efisien agar memberikan keadilan serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerahnya, justru sebaliknya menghasilkan "raja-raja kecil" yang koruptif dan melahirkan nepotisme di wilayahnya, ada begitu banyak kepala daerah yang terlibat kasus korupsi dan kepala daerah berganti tapi masih dalam kasus yang sama yaitu korupsi ( seperti keledai jatuh pada lobang yang sama ). Pertanyaan lainnya, apakah ada daerah yang kepala daerahnya yang  dinasti politik, menjadikannya daerah tersebut maju dan sejahtera masyarakatnya ?.Â
Bahwa kandidat calon kepala daerah itu merupakan wewenang parpol sebagai pengusungnya tapi masyarakatnya lah  butuh pemimpin, yang mampu mendistribusikan keadilan sosial bagi wilayah tersebut bukan parpol yang hanya mementingkan kursi kekuasaan, artinya, masyarakatlah yang paling mengerti problemnya dan memilih pemimpinnya yang "paling mampu" menyelesaikan problemnya berdasarkan rekam jejak kandidatnya.Â
Mahalnya biaya politik dalam pilkada saat ini, membuat keterpilihan kandidat berdasarkan modal/ kapital ( di setir  dan dibiayai oleh oligarki politik ) untuk membeli tiket pada partai politik dan biaya membeli suara pemilih, alhasil pemimpin dari pilkada padat modal ini adalah pemimpin yang hanya bekerja demi akumulasi kembalinya modal politiknya dan melanjutkan kuasanya dengan kata lain pemimpinnya tidak pernah mampu/ bisa bekerja mendistribusikan keadilan dan kesejahteraan bagi wilayahnya. Â
Karenanya diharapkan masyarakat pemilih di wilayah mampu memberikan reward and punishment kepada kepala daerahnya dalam arti jika kepala daerah terpilih sebelumnya mampu membawa perubahan atas kesejahteraan masyarakatnya wajar jika terpilih kembali baik personal maupun suara bagi partai pengusungnya dan sebaiknya jika kepala daerah terpilih sebelumnya dari partai pengusungnya A dan B, harusnya kandidat maupun partainya tidak akan mendapatkan suara pemilih di wilayah tersebut.Â
Bukankah masyarakat wilayahnya yang paling tahu hasil kerja pimpinan daerah sebelumnya " untuk menguji karakter seseorang, beri dia kekuasaan" dan apa hasilnya yang didapat oleh masyarakatnya ?. Disinilah perlunya kedewasaan dan kemandirian pilihan politik publik menilai pemimpinnya, meskipun maraknya politik uang dalam pilkada, " terima uangnya/ bansosnya dan tidak pilih kandidat maupun partai pengusungnya".Â
Pilihan politik seharusnya tidak lagi di"drive" oleh popularitas kandidat dengan narasi" post truth" yang dibangun untuk pencitraan semu juga di endorse oleh penguasa serta "janji-janji angin surga" apalagi memainkan isu SARA, tapi lebih pada apa yang akan dilakukan atau pernah dilakukan kandidat tersebut sebelumnya terlebih jika itu incumbent artinya berpijak pada rekam jejak kandidatnya.Â
Dengan begitu masyarakat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi mampu menjalankan kemandirian pilihan politiknya berdasarkan hasil kepemimpinan dari pilkada sebelumnya atau rekam jejak kandidatnya agar daerah tidak lagi  jatuh dalam lobang yang sama dalam ketertinggalan wilayahnya dan kesejahteraan masyarakatnya.Â
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H