Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tertawa: Obat Lelah Terbaik

31 Januari 2025   16:17 Diperbarui: 31 Januari 2025   16:21 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tertawalah Untuk Hari Penuh Arti

Hari-hari dipenuhi dengan kebahagian jika kita memilih menciptakan kebahagiaan untuk hari-hari kita. Demikian juga sebaliknya, jika kita memilih bermuram durja, sumpah serapah hingga tersisa keluh-kesah maka itulah hari-hari kita. 

Tinggal kita pilih yang mana? Tulisan sederhana kali ini memilih bahagia melalui pintu tertawa sebagai obat segala peluh lagi lelah. 

Selamat menikmati! Semoga bermanfaat. 

1. Tertawa Sepulang Kerja, Ritual yang Menyegarkan

Pulang kerja, badan remuk redam, kepala penuh beban, tapi begitu masuk rumah, saya dan istri punya kebiasaan sederhana: tertawa. Kadang cuma karena hal sepele---cerita lucu di perjalanan, kejadian konyol di kantor, atau sekadar melihat tingkah laku anak-anak yang polos. 

Ternyata, tertawa itu bukan hanya mengobati lelah, tapi juga menciptakan semangat baru. Bukankah hidup yang terlalu serius itu melelahkan?

Seorang peneliti dari University of Oxford, Robin Dunbar, pernah mengatakan bahwa tertawa bukan hanya melepaskan endorfin yang membuat bahagia, tetapi juga meningkatkan toleransi terhadap rasa sakit. Artinya, semakin sering kita tertawa, semakin kebal kita terhadap rasa lelah dan stres. 

Tak heran jika saya dan istri lebih memilih terapi tertawa ketimbang menyesap amarah akibat lelah bekerja. Yang jelas kami agak mengganggu tetangga karena tinggal di pedasaan, terbahak lepas untuk masyarakat desa masih tabuh. 

2. Ritual Sebelum Menulis: Bercanda dan Bermain

Setiap penulis punya ritual sebelum mulai menulis. Saya? Main dulu! 

Entah bercanda ria dengan istri, bermain bersama ponakan, atau bahkan sekadar nelponan dengan kawan yang asyik diajak bercanda. Ini bukan sekadar kebiasaan, melainkan bentuk pemanasan agar pikiran lebih rileks dan jari-jemari lebih lincah menari di atas keyboard.

Ernest Hemingway konon selalu minum segelas anggur sebelum menulis, sedangkan saya lebih memilih tertawa. Barangkali inilah alasan mengapa tulisan saya tetap hidup, karena ia lahir dari suasana hati yang ringan dan bahagia. Asli ini muji diri sendiri, maafkan hehehe. 

3. Tertawa Sebagai Cermin Diri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun