Pendidikan tinggi seringkali dianggap sebagai pijakan untuk mencapai kesuksesan, dengan gelar sarjana menjadi simbol prestasi tertinggi. Namun, di balik gemerlapnya capaian akademik, muncul pertanyaan yang kian mendalam: "Pendidikan tinggi kemana empati dicari?" Apakah semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tingkat empati yang dimilikinya?
Seiring dengan momen puncak bagi setiap mahasiswa, yaitu wisuda, gelar sarjana seharusnya diiringi oleh tingginya tingkat empati. Namun, apakah sarjana-sarjana masa kini benar-benar mampu menjadi penolong dengan nurani yang tulus? Sayangnya, data baru-baru ini menunjukkan bahwa 65% dari mereka, yang sudah menyandang gelar sarjana, sebagian besar telah kehilangan nurani.
Pertanyaan selanjutnya muncul: Mengapa hal ini terjadi? Apakah pendidikan tinggi justru menjadi sumber arogansi yang tak terpikirkan? Sejauh mana tingkat pendidikan bisa membawa dampak positif, atau justru menenggelamkan nurani? Ini bukan hanya pertanyaan bagi individu, melainkan juga sebuah refleksi bagi sistem pendidikan itu sendiri.
Pesan dari Pak Rektor menjadi penting untuk diperhatikan. Kita diajak untuk melihat ketimpangan dengan kacamata nurani, karena banyak yang mengalami "kematian nurani." Apakah gelar sarjana hanya menjadi simbol belaka tanpa tanggung jawab moral yang sesungguhnya?
Sebuah renungan dari seorang wisudawan menyentuh pada makna sebenarnya dari gelar sarjana. Gelar akademik seharusnya bukan sekadar predikat kehormatan, melainkan beban tanggung jawab yang besar. Contoh dari tokoh-tokoh seperti Adam Malik, yang meski hanya lulusan sekolah dasar, mampu memberikan dampak besar bagi negara. Hal ini menggugah pertanyaan seputar dampak nyata dari gelar sarjana dan seberapa banyak sarjana yang mampu menjalankan peran tanggung jawabnya.
Bahkan, ketidaksetaraan antara gelar dan dampak terlihat dari sebutan "sarjana nganggur." Gelar sarjana seharusnya membawa dampak positif, dan bukan menjadi beban ekstra dalam dunia kerja. Pesan dari rektor yang meminta untuk membantu dengan hati nurani menjadi panggilan moral yang menuntut keterlibatan aktif dari para sarjana.
Dengan demikian, tantangan bagi para wisudawan adalah bagaimana mereka dapat mewujudkan bantuan dengan ragam peran yang dimilikinya. Bantuan bisa berupa kebijakan negara, partisipasi dalam gerakan sosial, atau bahkan aksi individu yang sederhana namun berarti. Prof. Fatul Wahid memberikan pesan yang meresap tajam, meminta wisudawan untuk mengulurkan tangan sebagai bentuk keterlibatan aktif.
Dalam mengakhiri tulisan ini, sebuah pertanyaan menggelora: "Kala nurani telah mati, untuk apa sematan wisudawan dan kehormatan?" Maka, saatnya bagi setiap sarjana untuk merenungi dan bertindak. Jangan biarkan gelar menjadi beban, tetapi jadikanlah sebagai panggilan untuk menghidupkan kembali nurani dalam dunia pendidikan tinggi.
Salam.Â
Untuk pembaca yang berkenan membaca tulisan selengkapnya, silahkan berkunjung ke rumah kami dengan laman berikut: Pesan sang Rektor: Wisudawan jangan Mati Nurani