Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Diary

"Sebongkah" tiwul, "Secingkir" kopi, Kisah di Warkop KPK

22 Juli 2023   20:22 Diperbarui: 22 Juli 2023   20:29 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore terakhir di Jombang. Bercampur sedih juga bahagia. Sebulan lamanya melakukan penelitian di sini.


Warkop kopi KPK Cukir ini jadi saksi bisu betapa saya si paling kopi hehehehe selalu mengapelinya hampir saban hari. Bak masih ranumnya orang dimabuk asmara saban hari rasanya ingin bertemu.

KPK (Komunitas Pecinta Kopi) Terletak di pertigaan antara pabrik gula Cukir dan Pasar Cukir Jombang
KPK (Komunitas Pecinta Kopi) Terletak di pertigaan antara pabrik gula Cukir dan Pasar Cukir Jombang


Kali ini sajian di warkop sederhana nan melegenda di jombang ini adalah tiwul yang ditaburi parutan kelapa. Dengan balutan kering manisnya gula merah. Tentu maknyus bagi lidah "ndeso" seperti saya ini.

Lidah ndeso ini diragukan oleh ibu penjaga warkopya yang biasa disapa buk Mar. katanya, "walah mas ini makanan ndeso lo". Dalam hati saya nyeletuk, "Ibu gak tau saja kalau saya adalah anak ndeso ditambah anak terpencil di pedalaman Kalimantan sana. Lidah ini sangat teruji ndesonya".

Ada bapak-bapak, malah terheran-heran melihat saya yang begitu lahap menyatap sebongkah tiwul ini. Tanya bapak-bapak di warkop, "lidahnya apa cocok sama tiwul". Bapak ini mengenal saya juga asalnya bukan Jawa karena pernah berkenalan sepintas lalu.

Dengan cair membuat suasana lebih hidup saya jawab, "lidah saya sudah sangat jawa pak karena pacaran sama perempuan Jawa di Jogja". Sontak sebagian bapak-bapak warkop itu tertawa ria.

Suasana semakin cair. Yang kagetnya ketika saya di tanya kuliahnya di mana maka saya jawab lagi, "UII Joga" singkat saya bergumam sembari memberi senyum. Mereka bilang, "wah kampus mbah Wahid Hasyim ya?. Saya kaget dan dalam hati nyeletuk. "Saya sedang neliti mbah Wahid Hasyim di sini, mentakzimi beliau sebagai salah satu tokoh pendiri UII".  Obrolan pun semakin cair.

Sore yang ditutup dengan terbenamnya matahari ditambah alunan azan magrib yang memanggil. Semakin hangat dengan secangkir kopi pahit di gelas kecil orang-orang sekitar menyebutnya cingkir maka saya menulisnya secingkir kopi. Sontak serentak menunaikan shalat magrib berjamaah. 

Sore terakhir di Jombang. Sebulan lamanya meneliti mbah Wahid Hasyim di temani bersahajanya masyarakat sini. Seutas tulisan sederhana ini tentu tidak akan mewakili gemuruh syukur di dada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun