Mohon tunggu...
Albar Rahman
Albar Rahman Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Editor, Writer and Founder of sisipagi.com

Sehari-hari menghabiskan waktu dengan buku-buku ditemani kopi seduhan sendiri. Menikmati akhir pekan dengan liga inggris, mengamati cineas dengan filem yang dikaryakan. Hal lainnya mencintai dunia sastra, filsafat dan beragam topik menarik dari politik hingga ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cita-Cita

3 Mei 2023   08:29 Diperbarui: 3 Mei 2023   08:30 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Oleh Buya Hamka, 1967

 

"Gantungkanlah cita-citamu di bintang," ujar Bung Karno.  

Apakah arti ideal itu? 

Ideal ialah cita-cita hidup, atau tujuan hidup; di dalam bahasa Arab "al-matsalul 'ala." Yaitu bentuk keadaan yang sempurna, yang tak ada cacatnya, yang jadi cita-cita pada tiap-tiap orang yang berpikiran dan berbudi. Lawan ideal ialah real, keadaan yang nyata, atau keadaan yang telah ada. Jadi, ideal adalah di dalam alam pikiran, dan real sesuatu yang disaksikan oleh panca indra. Misalnya Dr. Rivai, Tjokroaminoto, Dr. Wahidin, melihat 45 tahun yang lalu bagaimana kesengsaraan, kehinaan, hanya dapat hilang apabila tanah air mereka telah merdeka. 

Cita-cita mereka itu dijadikan kepercayaan yang teguh, dijadikan iman yang tak bisa digoyangkan. Orang yang tak mengerti tentu akan tertawa di waktu itu, tentu akan menuduh orang yang bercita-cita itu orang gila. Adakah mungkin tercapai kemerdekaan, padahal kuku kekuasaan Belanda telah terhunjam sampai kepada urat dan daging bangsa. Namun, orang yang mempunyai cita-cita tidak peduli dengan tertawaan orang. Sebab, cita-cita adalah perhitungan yang tepat dan memang orang yang mempunyai cita-cita itu dahulu datang dari waktunya.

Ramai sungguh orang yang mempunyai cita-cita itu menderita kesengsaraan, kesukaran, kepayahan  lantaran cita-cita, tetapi ia puas dengan itu, dan ia merasa dengan itu, dan ia merasa bahwa kesengsaraan itulah hakikat keindahan dan kepayahan itulah lezat yang se jati. Kadang-kadang ia jadi korban dari cita-citanya. Ada yang terbunuh, terhina, terbuang, dan terasing. Kadang-kadang, bahkan banyak sekali, ia sendiri tak merasai dan tak menyaksikan buah awal dari cita-citanya, tetapi orang lain menyempurnakannya. 

Seperti cita-cita Rivai, Tjokro, dan Wahidin tentang kemerdekaan bangsanya. Disambung oleh angkatan Tan Malaka, Semaun, dilanjutkan oleh angkatan Sutomo-Thamrin, dan diperbuahkan oleh Soekarno- Hatta. Artinya, sesudah hancur daging mereka dalam kubur, sesudah putih tulang berlumur tanah, baru arwah mereka dapat menyaksikan dari celah-celah kuburnya cita-cita mereka itu berhasil. 

Sekarang tanah air telah merdeka, cita-cita orang dahulu telah terkabul. Namun, tentu akan terasa oleh pemuda melihat keadaan yang sebenar, yang nyata, bahwa banyak lagi yang belum sempurna. Tentu golongan pemuda insaf bahwa pekerjaan membina bangsa bukan pekerjaan setahun dua tahun melainkan pekerjaan berpuluh tahun, dan (alasan) itu benarlah yang menyebabkan tiap-tiap pemuda harus membina cita-cita dalam sanubari menurut pandangan hidup masing- masing. Mesti insaf pula bahwa cita-cita selalu meminta pengorbanan, penderitaan dan kepayahan, tetapi itulah lezat hidup yang sejati.

Hanya harus diingat, ada perbedaan jauh antara cita-cita dan angan-angan. Cita adalah buah pandangan yang timbul sesudah melihat barang yang nyata walau bagaimana pun sukarnya, demi manfaat bagi diri dan masyarakat. Sedang angan-angan yang di dalam bahasa Arab disebut khayal, ialah mimpi di waktu bangun, laksana si pungguk merindukan bulan, atau laksana kebanyakan pemuda yang berangan-angan hendak menikah dengan seorang gadis yang mempunyai sifat-sifat lengkap. Cantik serupa bintang film, alim serupa keluaran madrasah Encik Rahman. Intelek serupa Mr. Maria Ulfa Santoso, tahu adat istiadat serupa gadis Pagaruyung empat abad yang lalu, dan suci serupa anak bidadari.

Perempuan yang begitu tentu hanya ada dalam dunia angan-angan. Akibatnya adalah satu dari dua: 

Baca juga: Kotbah Socrates

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun