Menyusuri rak-rak buku tua. Menemui koran-koran lawas. Tulisan-tulisan berharga itu hanya jadi utas.
Hati miris kala itu, tak berdaya, lesuh dan gundah gulana. Oh aksara kataku dalam hati, izin aku selalu merindukanmu. Walau mata penaku buta.
Aku bukanlah pujangga, penyair dan penulis ulung. Aku bukan siapa-siapa. Mata penaku saja buta ia tak mengerti sastra, aku tak kuliah sastra.
Aku hanya santri, yang mengerti kepulan asap rokok malam hari bersama kitab-kitab tua berbahasa Arab dan tipis. Menyelami kitab tipis setipis taisirul khalaq saja masih terbata-bata.
Intinya sekali lagi aku bukan siapa-siapa. Oh aksara, izin aku memelukmu dengan kebutaan pena ini.
Merasakan hangatnya kata-kata yang dituliskan dengan hati. Tak perlu hati-hati, tidak mengapa terbentur asal selalu dalam pelukanmu oh aksara.
Oh iya. Aku ingin bertanya satu hal padamu aksara.
Kala zaman maju ini banyak yang enggan membaca sastra goresanku ini. Siapkah yang buta, penaku atau hati-hati manusia kekinian, modern bertopeng kemajuan itu?
Salam.
Albar,
Yogyakarta, 2 Maret 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H