Sebutkan aku satu prihal palung yaitu tentang bayang-bayang segala sentuhan relung. Mengetuk ruang.
Panoramanya bertutur riuh. Pelopak mata menatapnya indah. Tapi tak tau bagaimana saban hari ia harus menghadapi terpaan badai hingga daun bergugur. Padahal ia adalah pohon kuat berakar.
Ada beragam cerita. Semua tak perlu sama, jangan jadikan diri paling lirih. Sebab masih banyak yang lebih runtuh.
Sudahlah! Tak perlu menjadi paling tertangisi. Kadang memang lelah, silang singkut bebannya tak tertahankan. Oleh diri dengan mungilnya perasaan yang menahan tekanan.
Riuh oh lirih relung jiwa bersama kosongnya ruang. Kala tak lagi mengenal arah kemana harus berpijak. Kala merasa paling lelah padahal keluh hanya melahirkan manusia kalah. Ya manusia kalah, sekali lagi!
Maka temukan saja bulir-bulir. Yang memang liar tapi mengokohkan. Telan saja pahitnya. Hikmah itu kadang bentuknya bukan kata-kata tapi wujud tindakan. Menampar memang tapi ia menempah. Â
Sendiri sejadi jati diri. Kata Tan Malaka: "terbentur-terbentur-terbentur dan TERBENTUK". Begitulah jika segala tantangan di hadapan diterjal saja. Memang jiwa melewati riuh reruntuh. Ia tak rapuh tapi kian regah.
Kan kurangkumkan penguat raga. Bisa saja ia tertampar, terbentur, dan hati kadang lirih. Percaya segala tempah kan regah sekuat apapun reruntuh, riuh badai menyapa. Sekali lagi kan regah menitimu menjadi hari ini dan esok begitu kuat.
Salam.
Note: regah ialah adaptasi dari kamus bahasa Indonesia tetang buah yang kulitnya terbuka setelah matang dan siap dihidangkan. Diri juga akan selalu melewati fase panjang sebelum regah seperti buah manis yang siap disantap penuh nikmat.