Kali ini saya akan berbagi tentang sebuah perjalanan di dunia pena. Ya dunia kepenulisan yang dianggap wah bagi sebagian orang ketika kita mampu bertutur di dalamnya. Atau menuliskan banyak hal.Â
Padahal dunia kepenulisan adalah kelumrahan seibarat ngobrol atau bicara. Kita berbagi cerita, perspektif, sedikit pengetahuan, tentang pendirian dan lain sebagainya.Â
Lumrah. Tidak ada yang istimewa.Â
Pacaran dengan tinta ada satu kisah unik. Tidak istimewa apalagi dibilang hebat.Â
Sebuah kisah unik. Cerita pribadi saja.Â
Suatu ketika, saya membeli pena yang mahal. Buatan dari Jerman tak perlu disebutkan mereknya. Kecuali kelak jadi ambasadornya. Aaamiin.Â
Singkatnya pena ini menemani saya kemana saja. Menulis harian, bahkan saat mendaki ke puncak sejati di ketinggian Gunung Sumbing awal januari 2020 lalu. Â Pena itu menemani.Â
Anehnya pena itu seperti bernyawa. Saya sering memaki rezim dalam diam. Aneh. Hanya menulis di secarik kertas. Misal mengatakan, "Rezim baling-baling, muter-muter kekuasaan seolah negri ini milik moyangnya seorang..."Â
penggalan kutipan di atas tak perlu dilanjutkan. Hanya makian setelahnya. Dan tulisan itu tidak pernah saya publish di manapun. Hanya di secarik kertas yang tersimpan lusuh dan makin menua.Â
Kemudian hari. Pena itu pun hilang entah kemana. Lagi-lagi seolah ia lari dan tak mau lagi peduli pada negri ini.Â
Seketika hal sesepele itu jadi perenungan diri. Pena benda mati itu seolah memiliki kepekaan yang kuat. Ia peduli.Â