Puncak Bayangan -- Puncak Pawitra (Sejati) || Ketika Dengkul Sering Bertemu Dada dan Dagu Di Siang Bolong
Selepas lapangan camping dan pepohonan, kita akan menjumpai sebuah gubug, yang dipergunakan sebagai warung. Buka hanya hari Sabtu, Minggu dan Hari Libur, jam bukanya pun terbatas mulai pagi subuh sampai jam setengah 3 sore saja.
Penjualnya seorang ibu -saya lupa menanyakan namanya- yang setiap berjualan dia berangkat dari rumahnya di Kunjorowesi jam 2 Pagi. Tidak seperti Mbok Yem, warung legend di Lawu, ibu ini tidak tinggal disitu. Yang dijual pun juga terbatas hanya minuman, makanan kecil dan mie instan mentah, kadang-kadang juga membawa buah-buahan.
Selepas warung ibu, kita akan menyusuri jalan setapak biasa, kemudian beralih ke jalan setapak yang juga saluran air saat hujan. Inilah jalur menantang, medan terjal ciri khas Penanggungan, yang menjadikan menggapai Pawitra bukan perkara mudah. Kelenturan kaki juga turut menjadi salah satu penunjang keberhasilan.
Kontur tanah menanjak 45 derajat (ada yang lebih) dengan batu-batu yang seperti ABG - masih labil- menjadi pijakannya. Di beberapa tempat harus merangkak bahkan memanjat. Harus pandai memilih jalan yang mudah untuk dilewati. Semakin keatas, bebatuan yang menjadi pijakan lebih solid tidak lagi labil, longsor. -- seiring waktu, batu-batu tersebut ternyata juga bertambah dewasa-
Tidak ada pohon disini, sama sekali. Jadi jika ingin berlindung dari angin atau panas matahari terpaksa tiarap. Kaki rawan kram, terutama karena harus melakukan gerakan akrobatik 3 D (Dengkul ketemu Dada dan Dagu).
Tempatnya yang terbuka maka jika kita menengok atau berbalik serasa berada di pinggir jurang. Inilah ujian- nyali, kesabaran dan ketabahan untuk terus atau berhenti kemudian menunggu saja di bawah.
Kita akan melewati batu gantung dan gua, yang juga batas dari batuan labil dengan batu padas. Jika masih ada tenaga silakan berfoto disini untuk mendapatkan view yang berbeda dari yang lainnya.