Mudik kali ini mendapat sebuah cerita menarik dari orang tua saya. Kebetulan bapak saya adalah Ketua RT yang menjabat seumur hidup. Tidak cuma 3 periode tapi sejak jaman Pak harto berkuasa dapat separuh sampai sekarang. Jadi sudah sangat paham terhadap kondisi lingkungannya.Â
Tentang Mbak Supi
Teman-teman seusia saya - yang saat ini sudah jadi bapak-bapak - memanggilnya Mbak Supi. Saya tidak tahu persis nama lengkapnya siapa. Bisa Supiyah, Supiyati, Nursupi atau yang lain. Beliau adalah anak ketiga Mbah Minah seorang janda , sedangkan anak pertamanya bernama Lik Ji menjadi tukang becak, yang kedua bernama Jumiran yang berprofesi sebagai tukang.Â
Anak keempat bernama Sukat. Dia ini terkenal sangat bandel, pernah pada suatu hari dia dihakimi masa di perempatan kampung kami, karena terlibat pencurian radio dari tetangganya yang kebetulan masih family. Sejak saat itu Sukat terstigma sebagai pencuri di kampung kami.Â
Beberapa tahun kemudian dia merantau ikut grup pasar malam. Namun nahas, entah karena apa, sepulangnya dia merantau, sikapnya berubah menjadi pendiam, Sebagian warga menganggap dia gila. Dan puncaknya suatu sore yang hujan deras, dia dikabarkan menceburkan diri ke suangai.Â
Sampai sekarang tidak pernah ditemukan jasadnya. Ada rumor saat itu dia tidak menceburkan diri tapi kabur dari rumah dan menjadi seorang musafir. Cerita yang benar bagaimana, entahlah. Wallahualam.Â
Keluarga Mbah Minah sendiri adalah warga RT kami yang keadaan ekonominya sangat miskin, jika sekarang mungkin termasuk kategori kemiskinan ekstrem. Â Mbah Minah sendiri hanya berjualan apa saja yang bisa dijual, bukan pedagang besar. Omsetnya saat itu mungkin Rp 10 ribu rupiah perhari. Rumahnya hanya bilik bambu, beralaskan tanah.Â
Pagar rumahnya hanya daun beluntas. Mirip sekali dengan yang digambarkan God Bless dalam lagu Rumah Kita. Â Baru berubah agak lebih baik ketika mendapat bantuan bedah rumah dari pemerintah.Â
Pada suatu hari, Mbak Supi pulang dari rantau -seingat saya di Jakarta- dengan membawa calon suami dan berniat menikah. Pernikahannya walaupun sederhana tapi sangat meriah, warga membantu dengan segenap tenaga. Termasuk saya, yang saat itu masih SMA ikut jadi peladen atau sinomannya. Sudah menjadi kebiasaan jika yang menikah dari warga tidak mampu, warga pasti sigap membantu.Â
Setelah sepasar -tanggalan jawa- Mbak Supi diboyong suaminya ke Jakarta. Saat akan melahirkan baru dia kembali ke kampung kami dan melahirkan disini. Namun setelah kelahiran ternyata sang suami putus kontak sama sekali dan tidak pernah mengunjungi ke rumahnya. Anak yang dilahirkan seorang perempuan dan diberi nama khusnul.
Walaupun tidak mendapat perhatian dari suaminya. Mbak Supi tidak menyerah, tidak juga mencari suaminya namun dia membesarkan sendiri anaknya. Yang saya tahu dia menjadi Asisten Rumah Tangga. Menjadi ART di kota kecil bukan hal mudah. Standar hidup yang murah membuat gaji yang diterima juga murah. Hanya cukup untuk makan dan membiayai sekolah anaknya. Tetap dibawah UMR. Mbak Supi mendapat bantuan dari pemerintah jadi bisa menambah penghasilan.