"Ada dua macam ketidakhadiran. Satu disambut suka cita, sementara satunya menghadirkan gelisah pikiran," suatu waktu Ustadz Badrus Zaman, kepala sekolah kami membuka pembinaan rutin bulanan untuk guru dan karyawan dengan kalimat yang menggelitik.
"Ketidakhadiran yang disambut suka cita adalah ketidakhadiran kepala sekolah. Sementara satunya lagi adalah ketiadaan tenaga masak di Lembaga kita."
Kami yang hadir di forum pembinaan itu kompak tertawa. Ada yang lantas mengangguk. Meandakan bahwa ia setuju, ada yang kemudian menahan senyum. Sama saja maknanya.
Sekilas perkataan beliau ini sekedar gurauan tapi jika direnungkan lebih jauh ada makna besar di dalamnya.
Ya. Ini tentang kehadiran orang yang kadang kita anggap kurang berjasa.
Siapa sih yang begitu memperhatikan tenaga masak di sekolah. Gaung namanya tentu saja kalah dibanding guru, apalagi kepala sekolah.
Bisa jadi ada di antara kita yang justru meremehkan pekerjaan tidak sepele ini.
Tapi, pernahkah kita merasakan saat tenaga masak tidak ada?
Bagi lembaga besar yang siap dengan banyak pilihan saat ada satu dua tenaga masak yang tidak hadir tentu saja biasa saja. Tapi bagi lembaga yang belum siap kehadiran mereka sangat terasa.
Kadang penghargaan dan kehadiran mereka benar-benar terasa saat dibutuhkan.
Teman-teman pembaca semua.
Kali ini saya akan bercerita tentang dua orang tim masak yang paling berjasa di sekolah saya. Tentu tim masak bukan hanya mereka berdua saja. Tapi saya membatasi cerita pada dua sosok ini saja, tanpa mengesampingkan peran yang lain.
Beliau berdua bernama Jumaryono dan Tri Harjono. Nama pertama akrab dipanggil Pak Ju, sedangkan nama terakhir disapa Pak Tri.
Setiap pagi merekalah orang yang paling aktif menyiapkan makan siang untuk lima ratusan siswa di sekolah. Dari menyusun menu, mengkoordinasi ketersediaan bahan, hingga mendistribusikan ke sekolah.
Sebagai tambahan informasi tim masak bertugas memenuhi kebutuhan makan TK, SD, SMP, dan pondok. Yang menjadi PR cukup besar adalah bagaimana mengantar makanan ke SD yang saat ini berjarak sekitar lima ratus meter dari dapur.
Ke depan memang lokasi dapur akan dipindah dekat SD untuk memudahkan banyak hal.
Pak Tri adalah tenaga yang mengambil makan ke dapur menggunakan sepeda motor roda tiga yang belakangnya didesain untuk memuat barang. Pernah suatu ketika karena ada masalah dengan motor Pak Tri makanan pun telat datang. Hampir semua siswa harap-harap cemas.
"Sudah lapar nih," kata salah satu murid.
Sebuah keluhan yang kemudian memancing keluhan siswa lain.
"Lama sekali," sahut anak kelas satu.
"Ayo jajan saja kalau gitu," kalimat ini keluar dari anak kelas lima. Dia mencoba mencari cara lain agar perutnya segera terisi.
"Ah, bosan," suara itu kian ramai.
Para guru yang juga menunggu mencoba menenangkan siswa dengan kalimat yang menenangkan. Tapi bagaimana pun perut lapar memang agak susah kalau diajak berpikir jernih.
Suara sumbang mereka masih saja terdengar.
Beberapa siswa memang cuek. Tidak peduli kapan makanan akan datang. Sebagian lagi menunggu dengan bermain bola atau membaca buku.
Begitu motor Pak Tri muncul mendekati waktu dhuhur mereka pun bersorak. Bisa jadi Pak Tri yang berjarak puluhan meter sudah mendengar suara mereka.
"Akhirnya makanan datang,"
"Yes,"
"Ayo siap-siap ambil makan,"
Begitu Pak Tri masuk gerbang sekolah dan menghentikan motornya beliau sudah disambut dengan suka cita wajah anak-anak yang merasa sudah ditagih cacing-cacing di perut.
Tapi Pak Tri tidak membiarkan begitu saja pemilik perut-perut yang lapar itu tanpa disiplin antre. Sesuai aturan yang mengambil makan adalah petugas piket setiap kelas. Itu juga harus antre, tidak boleh berebut. Pak Tri yang tampak merasa bersalah karena telat mengambil makan masih tetap sigap mengkondisikan anak-anak agar antre.
Dalam kesempatan berbeda Pak Tri pernah mengungkapan betapa beliau sangat bersyukur bisa bergabung dengan sekolah Islam.
"Saya memang bukan guru yang berdiri di depan kelas. Tapi saya merasa semua orang di sekolah kita harus menjadi guru. Apapun pekerjaannya," luar biasa pemahaman yang beliau yakini. Saya tercengang mendengarnya.
"Itu kan yang pernah saya dengar dari yayasan saat pembinaan. Makanya saya juga berfikir bagian apa yang bisa saya ajarkan dan contohkan langsung kepada anak-anak. Ketemu, lewat pembagian makanan ini,"
"Kalau mengajar di kelas itu sudah tanggung jawab guru kelas, para ustadz/ah. Nah, bagian saya ya ini. Bagaimana agar anak bisa antre," Pak Tri mencoba menerjemahkan pemahaman di kepala dengan tindakan nyata di lapangan.
"Kata orang-orang hebat antre itu masih menjadi PR besar negara kita. Makanya walaupun sering mengkondisikan agar anak bisa antre saya insya Allah siap," lanjut lelaki beranak dua ini.
Ingatan saya melayang. Benar. Apa yang disampaikan Pak Tri pernah pula disampaikan guru-guru kami. Mereka dengan tulus memberi nasihat pendidikan yang luar biasa.
Semua yang terlibat dalam dunia pendidikan juga bisa menjadi agen penyebaran nilai kebaikan. Tukang kebun dan petugas kebersihan adalah agen penyebar nilai kebersihan dan kerapian.
Pegawai kantin adalah agen penyebar adab makan dan kesediaan mengantre. Petugas administrasi adalah agen penyebar nilai kejujuran karena mereka selalu mengembalikan uang kelebihan pembayaran bulanan.
Satpam sekolah adalah agen kehati-hatian karena selalu menyeberangkan siswa dengan hati-hati. Bahkan tukang bangunan di sekolah pun bisa menjadi agen kebaikan dengan mengajarkan kerapian, kedisiplinan, ketelitian, keindahan, dan kekokohan hasil kerja.
Ternyata pemahaman menjadi agen kebaikan sudah diresapi Pak Tri dengan sangat baik. Pak Tri punya harapan kontribusi 'kecil' yang diberikan ini memiliki dampak besar bagi kehidupan para siswa kelak. Saat mereka sudah terjun ke dunia masyarakat.
Lain Pak Tri, berbeda juga dengan Pak Jumaryono. Permasalahan yang beliau hadapi jauh lebih kompleks soal ketersediaan makanan.
Sebagai koordinator tim dapur suatu ketika Pak Ju pernah diuji dengan beberapa karyawan yang resign dalam waktu hampir bersamaan. Belum adanya pengganti tim masak membuat beliau bekerja berkali lipat agar tidak ada warga sekolah yang kelaparan.
Pak Ju pernah bercerita kalau harus sampai di sekolah langsung setelah shalat shubuh. Ikut membantu menyiapkan sarapan untuk para santri lantas mengecek kesiapan masakan nanti siang untuk semua warga sekolah.
"Pastinya capek Pak," itu jawaban yang beliau berikan atas pertanyaan retoris yang saya ajukan. Saya tahu tanpa beliau jawab pun pertanyaan, "Capek nggak pak?" sudah bisa diketahui jawabannya.
Tapi ini semua soal tanggungjawab. Meski capek tapi beliau lakukan dengan harapan besar semua kebutuhan gizi siswa dan santri terpenuhi dengan baik.
Pak Ju mengatakan bahwa beliau ingat pada ceramah yang pernah didengar bahwa ibadah tidak semata shalat dan mengaji. Memastikan bahwa tubuh ini tercukupi gizinya sehingga tetap tegak dan bisa melaksanakan amal baik juga merupakan ibadah yang bernilai tinggi.
Dua orang ini bisa jadi orang yang tidak  punya banyak kesempatan sambutan di depan umum. Jarang mendapat tepuk tangan meriah. Kurang dihargai dengan pantas.
Tapi lihatlah.
Rasakanlah.
Jika mereka, tim dapur atau tim masak, tidak ada kita akan merasakan dampaknya.
Teman-teman para pembaca.
Saya pernah membaca kisah tentang seorang dosen yang memberi pertanyaan 'aneh' saat ujian pada mahasiswanya. Entah ini kisah nyata atau hanya rekaan tapi ada pelajaran besar di sana.
Beberapa pertanyan yang 'janggal' itu adalah:
"Siapa nama satpam kampus kita?"
"Siapa nama petugas kebersihan kampus kita?"
"Siapa nama ibu kantin kampus kita?"
Pertanyaan 'aneh' tadi membuat mahasiswa bertanya dan sedikit 'protes' pada dosen. Apa gunanya pertanyaan semacam itu keluar. Begitu argumen mereka. Karena pada kenyataannya mereka tidak mengenal nama-nama yang ada di pertanyaan.
Dengan bijak dosen itu menjawab bijak bahwa jika pada mereka yang setiap hari berjasa saja kita tidak kenal maka bagaimana kita akan menghargai orang lain.
"Jika kita tidak menghargai yang kecil bagaimana kita akan menghargai yang besar," demikian pesan guru saya.
Pada Pak Tri dan Pak Ju saya banyak belajar. Tentang banyak hal.
Sungguh saya berharap bahwa siapapun yang saat ini terlibat dalam dunia pendidikan bisa menjadi guru, menjadi agen kebaikan sesuai peran masing-masing.
Teman-teman pembaca, yuk jujur, sudah sejauh mana kita mengenal tenaga masak, tenaga kebersihan, para satpam, bahkan tukang bangunan di sekolah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H