Beberapa waktu yang lalu bapak dan ibu mengadakan tabligh akbar di kampung. Sebagai ungkapan syukur atas segala karunia. Kami mengundang salah satu kiai besar dari kabupaten tetangga. Target kami, orang sekampung plus kampung-kampung sebelah, bisa hadir.
Kata bapak, untuk mengefisienkan waktu cukup undang saja hadirin lewat pengeras suara masjid. Persis seperti pengumuman pengajian lainnya. Suara pengeras itu akan terdengar sampai bilik-bilik rumah.
Untuk warga kampung sebelah bisa minta tolong pada ketua RT. Lebih hemat waktu dan tenaga. Tapi, saya menolak. Khususnya untuk yang kampung sendiri.
Sudah lama saya tidak di rumah. Kalaupun ada waktu pulang, lebih banyak dihabiskan untuk tiduran dan jarang keluar rumah. Akibatnya saya jadi sering lupa nama orang kampung. Apalagi anak-anak kecil.
Maka saya putuskan untuk tidak menggunakan pengeras suara. Saya mendatangi mereka. Satu per satu. Dari satu rumah ke rumah yang lain.
Cara ini saya rasa akan lebih mendekatkan pada masyarakat yang sering saya tidak di situ. Juga tentu ada nilai kekeluargaannya. Akhirnya dua hari pintu-pintu rumah itu saya ketuk.
Ternyata ide ini banyak sekali menghadirkan makna tersendiri. Di sela menyampaikan undangan, ada percakapan lain. Tentu saja. Tema seputar keluarga, hasil pertanian, dan apa saja bisa jadi bahan menghangatkam suasana.
Hingga, sampailah saya pada sebuah keluarga itu. Pasangan suami istri yang sudah menikah belasan tahun, tapi belum berputra. Singkatnya dia pun akhirnya mengangkat anak. Yang darinya cita-cita dilangitkan.
Cukup lama saya di keluarga ini. Permasalahannya beliau ini banyak nanya dan cerita. Seputar pendidikan anaknya. Baiknya kemana anaknya melanjutkan, setelah jenjang sekolah dasar.
Beliau memaparkan bahwa keluarganya sangat terinspirasi acara Hafidz Indonesia. Setiap acara ini ditayangkan, keluarganya akan menyimak.
Ada keharuan disana. Di saat anak-anak kecil itu melantunkan ayat demi ayat. Keharuan yang tidak jarang beriring air mata itu membuatnya berkeinginan, anaknya bisa seperti mereka itu.