Mohon tunggu...
Alba
Alba Mohon Tunggu... -

Pengabdi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menikmati Proses

19 Juni 2015   02:35 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:42 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di Makassar kurang lebih 11 tahun silam, maka tempat yang paling menarik dan mengasyikkan adalah kantin kampus, di tempat tersebut begitu leluasa, bebas, tanpa diskriminasi dan merdeka memberikan pendapat ataupun komentar tentang keadaan yang terjadi di lingkungan kampus maupun kondisi sosial politik kekinian. 

Mungkin itu dilatar belakangi atas arti sekolah sendiri, skhole, scola, scolae, atau schola (latin) yang secara harfiah berarti ‘waktu luang’ dan ‘waktu senggang’. Seakan jika berada di lingkungan kantin kampus maka benar-benar menikmati waktu luang dan waktu senggang, sangat berbeda situasinya ketika harus duduk manis terpaku di ruang kelas.

Penulis tidak pernah lupa oleh seorang dosen yang sering menemani kami di kantin kampus, beliau sering menyampaikan ke saya jika sesugguhnya hakikat kuliah atau sekolah di perguruan tinggi adalah prosesnya, bukan hasil ujiannya A, B, C, D maupun E, bukan juga dengan rutinitas belajar di kelas yang dilakoni yang tak jauh beda ketika di bangku SMU, ataupun bukan tujuan akhir dengan mendapatkan gelar dan ijazah. Penulis sering berfikir, proses apa sesugguhnya yang pak dosen maksud tersebut.

Hal tersebut yang memaksa penulis mencoba mencari tahu arti proses seugguhnya ketika sekolah di perguruan tinggi. Roem Toepatimasang dalam beberapa karyanya seakan membuka mindset penulis tentang hakikat sekolah dan pendidikan, sekolah itu bukan candu, sekolah itu sesugguhnya harus membebaskan manusia, bahkan sesugguhnya hakikat pendidikan itu memanusiaka manusia, bukan sebaliknya dengan melahirkan manusia-manusia yang tidak ber-prikemanusiaan.

Ijazah Palsu

Kehebohan berita tentang maraknya ijazah palsu seakan menjadi bukti jika isyu lama tersebut kembali bersua, bukan sebatas isyu lagi tapi kini menjadi fakta. Salah satu acara di kompas TV membuka mata kita jika isyu itu bukan isapan jempol semata tapi fakta jika seorang reporter TV kompas mampu meraih gelar sarjana dan ijazah di salah satu kampus terakreditasi di Jakarta tanpa kuliah dan hanya ikut wisuda dan menerima ijazah cukup dengan bayar 16 Juta (CS File kompas TV).

Entah darimana asal mulanya ijazah palsu ini, apakah oknum kampus yang dari awal merencanakan hal tersebut, ataukah nanti disaat para peminat mencarinya barulah kegiatan tersebut muncul. Jika menggunakan perspektif teori supply demand, tidak mungkin ada penawaran dari penjual jika tidak ada permintaan dari pembeli. Artinya, awal mulanya disebabkan oleh adanya peminat yang mencari ijazah palsu tersebut sebagai pembeli hingga akhirnya memicu para oknum kampus menyediakan ijazah palsu tersebut.

Di media sosial begitu marak kemarahan para netizen tentang kasus ijazah palsu, banyak yang merasa tidak adil atas hal tersebut. Kita telah berjuang sampai bertahun-tahun demi gelar Strata satu sampai Strata dua, tapi kok ada oknum yang hanya dengan duit mereka bisa membelinya dengan mudah, itu segelintir ketidak adilan yang dirasakan oleh masyarakat melalui dunia maya. Bahkan secara pribadi penulis ikut merasakan begitu sulitnya menuntaskan semua jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) ketika kuliah, hingga harus merogoh kocek lebih demi membeli berbagai buku dan referensi, karena diktat yang dijual sang dosen seakan tak cukup memperkaya khasanah ilmu pengetahuan terhadap satu mata kuliah.

Indonesia memang terkenal sebagai Negara yang hobby membuat barang KW dan barang-barang palsu. Mulai dari pakaian, makanan, beras palsu sampai ijazah-pun tak luput dari pemalsuan. Jika pendidikan telah dirasuki pemalsuan maka penulis begitu yakin jika hal itu akan menjadi sebab utama lahirnya bangsa palsu sebagai akibat didikan yang palsu. Seandainya seorang PNS ataupun birokrat dan pejabat publik di negeri ini mengantongi ijazah palsu, pasti perilakunya akan seterusnya palsu, palsu melayani masyarakat hingga palsu memalsukan uang Negara yang melahirkan mental korup yang tak kunjung usai.

Memaknai Proses

Merujuk yang disampaikan pak dosen tentang makna kuliah dan sekolah di perguruan tinggi adalah proses-nya, maka mulai sekarang kita harus benar-benar memaknai dengan tepat apa itu proses. Hidup itu proses, sejak proses penciptaan manusia telah dilewati oleh begitu banyak tahapan, fase yang bermakna sebagai proses hidup. Ketika sel sperma dan sel ovum bertemu, kemudian melewati proses hingga 9 bulan dalam kandungan, kemudian terlahir sebagai manusia hingga bayi, balita, anak-anak, remaja, dewasa hingga tua, bukankah itu bukti jika hidup ini sesugguhnya proses. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun