Mohon tunggu...
Alba
Alba Mohon Tunggu... -

Pengabdi

Selanjutnya

Tutup

Politik

Caleg Itu Guru Pendidikan Politik

25 Oktober 2013   14:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:03 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Banyaknya politisi yang terjebak pada masalah hukum maupun berperilaku tak sesuai etika empat pilar kebangsaan, seperti tersangkut kasus korupsi, penyalahgunaan narkoba dan berbagai jenis perilaku lainnya semakin mengurangi kepercayaan masyarakat kepada institusi politik menjelang pemilu 2014. Seperti hasil survey Indikator Juni 2013 yang menunjukkan sebagian besar masyarakat kita tidak tertarik masalah politik dan pemerintahan serta masuk dalam kategori apatis, mereka memiliki ketertarikan politik yang rendah dan pada saat yg sama tidak percaya terhadap institusi-institusi politik (parpol, presiden, DPR, menteri, dan politisi).
Salah satu penyebab ketidakpercayaan tersebut karena hampir seluruh parpol terlibat kasus korupsi di KPK. Sebagai contoh sebut saja para petinggi berbagai parpol yang terjerat oleh KPK dalam kasus korupsi, baik kadernya yang duduk di legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Bahkan ironinya, salah seorang caleg dari partai baru di Sulsel tertangkap menggunakan narkoba seperti dilansirmedia ini beberapa hari lalu. Bukan itu saja, para politisi yang kelak menjadi wakil rakyat tidak mampu menjadi fungsi representasi yang aspiratif dan menjadi perwakilan mewakili kemajemukan rakyat.
Selain perilaku para politisi, sistem pemilu kita menjadi variabel pengaruh yang menentukan berbagai subsistem politik demokrasi, seperti kemampuan pemilih menuntut akuntabilitas parpol dan para wakil rakyat. Dipisahkannya penyelenggaraan pemilu DPR, DPD dan DPRD, pemilu presiden/wapres dan pemilu kepala daerah, tidak memberi ruang kepada masyarakat untuk menilai secara kolektif para parpol beserta politisinya tentang visi, misi maupun programnya secara bersamaan di tingkat nasional dan daerah. Sistem inilah yang menjadi kelemahan sistem pemilu kita yang akhirnya melahirkan fenomena politik dinasti di berbagai daerah atau kesan lahirnya politik transaksional semata sehingga lagi-lagi rakyat menjadi korban.
Pendidikan Politik
Parpol dan pemilu merupakan pilar atau tiang utama demokrasi, rumah dan bangunan demokrasi akan runtuh apabila parpol dan pemilu tidak sehat dan tidak kuat. Jika merujuk UU tentang parpol, idealnya parpol diarahkan pada dua hal utama, yaitu pertama, membentuk sikap dan perilaku parpol yang terpola atau sistemik sehingga terbentuk budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip dasar sistem demokrasi. Hal iniditunjukan dengan sikap dan perilaku parpol yang memiliki sistem seleksi dan rekruitmen keanggotaan yang memadai serta mengembangkan sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat. Kedua, memaksimalkan fungsi parpol baik fungsi terhadap negara maupun fungsi terhadap rakyat melalui pendidikan politik dan pengkaderan serta rekruitmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader calon pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.
Sementara pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi hakikatnya parpol-lah beserta calegnya yang menjadi aktor utama dalam melahirkan budaya dan perilaku politik yang baik. Sebagai pemeran utama, maka para caleg harus menjadi guru politik bagi warga negara, menjadi contoh dan memberi pengetahuan yang benar tentang politik dalam mengelola bangsa. Pertanyaannya sekarang, adakah parpol dan caleg yang melakukan itu? Kalaupun ada, maka itu hanya sebagian kecil yang melakukannya sehingga dianggap mereka memiliki basis riil dan memiliki peluang kembali di Pemilu 2014 nanti.
Transformasi Parpol
Menjelang Pemilu Legislatif April 2014, telah bermunculan ribuan caleg yang akan berkompetisi memperebutkan kursi DPR, DPD, DPRD provinsi dan kabupaten/ kota se-Indonesia. Sederhananya, dari 12 parpol nasional akan memperebutkan 560 kursi yang berasal dari 77 dapil berwakil majemuk yang memiliki 3-10 kursi/ dapil. Sementara DPD memiliki 132 perwakilan yang terdiri dari 4 orang masing-masing provinsi (jumlah provinsi 33) dengan sistem distrik berwakil banyak. Sementara DPRD Provinsi ada 2.112 kursi yang diperebutkan dalam 259 dapil berwakil majemuk yang juga memiliki 3-12 kursi. 497 DPRD kabupaten/ kota yang terdiri 20-50 kursi juga akan berkompetisi memperebutkan kursi legislatif DPRD 410 kabupaten/kota (kecuali DKI Jakarta dan Kalimantan Utara).
Dari data di atas, ternyata begitu banyak caleg yang seharusnya menjadi guru politik di bangsa ini. UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD mengamanahkan bahwa kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab. Artinya, pemeran utama untuk mendidik masyarakat tentang politik yang baik adalah para calegnya. Jika kita kalkulasi total parpol beserta pengurus dan calegnya, maka ada ribuan pendidik politik yang bertugas penuh memberi pengetahuan tentang politik, mulai tentang etika, moralitas, budaya ataupun hakikat politik menjadi tugas para politisi.
Banyaknya masalah yang melanda demokrasi kita hari ini seakan menjadi tantangan buat parpol dan calegnya untuk melakukan transformasi. Pemilu 2014 ini menjadi momentum yang tepat memberi ruang kepada masyarakat untuk memberi reward dan punishment bagi parpol beserta calegnya. Bukan lagi dengan menyalahkan sistem maupun perilaku pribadi para politisi selama ini, walau tak cukup banyak waktu untuk menilai secara komprehensif mereka. Kedaulatan ditangan rakyat harus dimamfaakan dengan baik oleh para pemilih, walau stigma masyrakat kita yang masih sangat permisif diantara kepungan politik marketing yang memaksa lahirnya budaya politik dinasti, money politik serta berbagai budaya yang mencedarai demokrasi kita.
Setelah parpol dan calegnya melakukan pendidikan politik yang baik, maka tugas selanjutnya ada ditangan rakyat. Merekalah yang harus melakukan seleksi atas hak politiknya dalam berpartisipasi aktif pada semua tahapan penyelenggaraan pemilu walau golput adalah pilihan terakhir bagi yang tak punya pilihan, asalkan bukan golput administrasi. Mulai melakukan pengawasan dan menjadi pemilih cerdas menjadi bagian meningkatkan kualitas demokrasi kita tanpa mengesampingkan peran penyelenggara pemilu, civil society, regulasi kepemiluan dan semua stackeholder pemilu di Indonesia.

lengkapnya http://makassar.tribunnews.com/2013/10/22/caleg-itu-guru-pendidikan-politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun