Setelah wafatnya Syekh Baqi Billah, Syekh Ahmad Sirhindi kemudian mengemban amanah untuk mengembangkan dan melanjutkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah (Ansari, 1986). Saat itu, Syekh Ahmad Sirhindi banyak melakukan pembaharuan, di antaranya adalah melakukan penolakan atas paham wahdah al-wujud, yang saat itu banyak digandrungi oleh kalangan sufi dari Asia Tengah. Hal ini kemudian membuat Syekh Taj al-Din Zakaria, salah seorang yang mendukung paham wahdah al-wujud, merasa kecewa hingga meninggalkan India menuju Makkah dan menetap di sana (Bruinessen, 1992).
Syekh Ahmad Sirhindi kemudian mengangkat putranya, Syekh Muhammad Ma'shum, sebagai khalifahnya. Syekh Muhammad Ma'shum kemudian juga mengangkat putranya, Syekh Muhammad Saif al-Din al-Faruqi, sebagai khalifahnya. Kemudian Syekh Muhammad al-Faruqi mengangkat Syekh Muhammad al-Badwani sebagai khalifahnya. Syekh Muhammad al-Badwani kemudian mengangkat Syekh Syams al-Din Jan Janan sebagai khalifahnya. Kemudian Syekh Syams al-Din mengangkat Syekh Abdullah al-Dahlawi sebagai khalifahnya. Syekh Abdullah al-Dahlawi kemudian mengangkat Syekh Diya' al-Din, yang dikenal dengan Syekh Khalid al-Kurdi, sebagai khalifahnya. Pada masa Syekh Khalid al-Kurdi inilah kemudian tarekat Naqsyabandi berkembang ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Chairullah, 2016).
Syekh Khalid al-Kurdi, yang berbaiat kepada Syekh Abdullah al-Dahlawi, merupakan seorang ulama karismatik yang kemudian juga digelari dengan mujaddid karena melakukan pembaharuan dalam tarekat Naqsyabandiyah. Syekh Khalid al-Kurdi menambahkan metode suluk yang sebelumnya tidak dikenal dalam tarekat Naqsyabandiyah (al-Kurdi, tt; Foley, 2008). Selain berbait tarekat Naqsyabandiyah, Syekh Khalid al-Kurdi juga mendapatkan ijazah tarekat Qadiriyah, tarekat Sahruwardiyah, tarekat Kubrawiyah, dan tarekat Jistiyah (Chairullah, 2016).
Syekh Khalid al-Kurdi kemudian mengangkat Syekh Abdullah Afandy sebagai khalifah dan mengutusnya ke Makkah. Syekh Abdullah Afandy kemudian mendirikan zawiyah di Jabal Abi Qubais, yang dari tempat inilah kemudian tarekat Naqsyabandiyah menyebar sampai ke Indonesia yang dibawa oleh para pelajar Nusantara yang belajar di Makkah. Syekh Abdullah Afandy kemudian mengangkat Syekh Sulaiman al-Qarimi sebagai khalifah dan menunjuknya untuk menggantikan posisinya di Jabal Abi Qubais. Syekh Sulaiman al-Qarimi kemudian mengangkat Syekh Sulaiman Zuhdi sebagai khalifahnya. Syekh Abdullah Afandy juga mengangkat khalifah lain, di antaranya adalah Syekh Ismail al-Minangkabawi dan Syekh Abd al-Wahhab, yang dikenal dengan Syekh Ibrahim Kumpulan. Para khalifah dari Syekh Abdullah Afandy inilah yang kemudian memainkan peran besar dalam penyebaran tarekat Naqsyabandiyah di Minangkabau pada abad ke-19 M.
TAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH DI MINANGKABAU
Tarekat Naqsyabandiyah sudah terdeteksi keberadaannya di Minangkabau sejak akhir abad ke-18 M. Saat itu telah muncul beberapa ulama yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyah, seperti Syekh Jalal al-Din Cangkiang, Syekh Daud Sunur, dan Syekh Sa'ad Padang Bubuih (Dobbin, 2008). Saat itu, tarekat Syattariyah merupakan tarekat yang paling berkembang dan memiliki banyak pengikut. Tidak aneh jika banyak ulama yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyah juga berbaiat kepada tarekat Syattariyah sekaligus.
Tarekat Naqsyabandiyah baru memiliki banyak pengikut dan mencapai punjak kejayaan di Minangkabau pada awal abad ke-19 M melalui Syekh Ibrahim Kumpulan dan murid-murid Syekh Ismail al-Minangkabawi, seperti Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Abd al-Rahman. Sejak saat itu tarekat Naqsyabandiyah mampu mengalahkan dominasi tarekat Syattariyah dan menjadi tarekat yang paling banyak pengikutnya di Minangkabau (Chairullah, 2016).
KESIMPULAN
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat muktabar yang memiliki banyak pengikut di Indonesia. Tarekat Naqsyabandiyah juga merupakan tarekat yang paling mendominasi di Minangkabau.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan para peneliti dan ahli sejarah terkait awal mula masuknya Tarekat Naqsyabandiyah ke Minangkabau. Meskipun demikian, perbedaan pendapat ini terletak pada objek yang berbeda, sekalipun masih sama-sama tarekat Naqsyabandiyah. Tarekat Naqsyabandiyah sendiri baru dikenal pada masa Syekh Baha' al-Din al-Naqsyabandi. Sebelumnya dan sesudahnya, tarekat Naqsyabandiyah sering berganti nama. Di antara perkembangan tarekat Naqsyabandiyah yang paling banyak pengikutnya hingga saat ini adalah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah yang dinisbatkan kepada Syekh Khalid al-Kurdi.
Tarekat Naqsyabandiyah sendiri telah masuk ke Minangkabau pada akhir abad ke-18 M, namun baru menjadi tarekat yang paling dominan di sana sejak abad ke-19 M hingga saat ini melalui jalur Syekh Ibrahim Kumpulan dan murid-murid Syekh Ismail al-Minagkabawi, seperti Syekh Muhammad Thahir Barulak dan Syekh Abd al-Rahman.