Kabut pagi masih enggan berlalu, sementara kekuningan sinar mentari mulai mengintip perlahan di antara ranting dan dedaunan pohon yang menjulang tinggi. Nampaknya masa peralihan tengah berlangsung, kabut yang masih enggan melipir harus rela digantikan oleh sang mentari menghiasi pagi. Seorang pria setengah baya, membelah lahan terhampar. Sesekali langkahnya terhenti sekadar melempar pandangan ke garis terjauh dari lahan pertanian kentang yang tengah digarapnya. Sebentar lagi udara sejuk berganti hangat sinar mentari, sosok itu semakin jelas terlihat.
Tengku Afifudin, putra asli Segamit yang pernah mengenyam pendidikan Agama di Aceh pada tahun 1981-1993, kembali ke Segamit untuk mengabdikan diri dan ilmunya untuk masyarakat daerahnya yang merupakan daerah paling ujung dari Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Sekembalinya dari Aceh, ia langsung mendirikan Pesantren Daarul Ulum di Bukit Danau Ringkih, Desa Segamit.
Pemilihan lokasi pesantren didasarkan pada sumberdaya alam yang tersedia, lahan luas terbentang ditambah pengalaman bercocok tanam kentang yang dimilikinya, menjadi penyemangat Tengku Afifudin untuk berjuang mendirikan pesantrennya. Masyarakat yang sebagian besar tergolong dhuafa dan minimnya fasilitas pendidikan di Desa Segamit, semakin menguatkan tekadnya. Bersama masyarakat setempat saling bahu membahu, maka berdirilah Pesantren Daarul Ulum, cerah senyum anak-anak Desa Semende, terbuka lagi harapan mereka melihat dunia yang lebih luas. Semua akan bermula dari pendidikan.
Untuk membiayai operasional pesantren, Tengku Afifudin mengelola lahan seluas 30.000 m2 itu, selain untuk bangunan pesantren, juga membuka pertanian kentang. Al-Azhar Peduli Ummat (APU) yang sangat concern membantu pemberdayaan masyarakat, termasuk di bidang pendidikan tergerak untuk membersamai Tengku Afifudin dalam mengelola pesantrennya, termasuk pengelolaan pertanian kentang yang tujuannya tidak hanya untuk kemandirian pesantren, melainkan juga kemandirian masyarakat sekitar pesantren.
Dalam usaha pertanian kentang itu, APU memberikan 1 ton bibit kentang berikut kebutuhan pupuk dan obat-obatan anti hama. Dari pertanian itulah semua kebutuhan operasional pesantren terpenuhi, termasuk bisa menghidupi keluarga besar pesantren, yang terdiri dari 9 tenaga pengajar, 40 santri putra dan 32 santri putri yang semuanya bermukim di lingkungan Pesantren. Tak hanya untuk lingkungan pesantren, hasil pertanian kentang itu pun bisa dirasakan manfaatnya bagi masyarakat sekitar pesantren yang ikut mengelola pertanian itu. Karena itulah, masyarakat sekitar sangat menghormati Tengku Afifudin. “Tengku” adalah sebuah sapaan kehormatan masyarakat setempat bagi seseorang yang berpengetahuan khususnya ilmu agama.
Pesantren Darul Ulum semakin berkembang, saat berdiri dulu masih tak ada listrik, saat ini sudah menggunakan mesin turbin standar untuk aktivitas belajar mengajar. Sisa aliran listrik diinfakkan Pesantren kepada beberapa warga yang tinggal di sekitarnya. Semakin bertambahlah berkah dan kecintaan warga kepada pesantren Daarul Ulum.
Melalui Pesantren inilah, Tengku Afifudin membentuk jiwa kemandirian masyarakat sekaligus mempertahankannya. Anak-anak dhuafa dapat mengenyam pendidikan secara gratis, selain belajar pengetahuan umum dan agama para santri juga diajari keterampilan bercocok tanam sebagai bekal menghadapi kehidupannya kelak. Ternyata, kentang tak hanya menyehatkan, tetapi juga mencerdaskan dan membentuk kemandirian masyarakat. Alangkah indahnya jika semakin banyak masyarakat berdaya dari usahanya sendiri melalui kemitraan dengan lembaga zakat yang disokong penuh para muzakki dan dermawan. (APU)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H