Mohon tunggu...
Alayya Yakuta
Alayya Yakuta Mohon Tunggu... Mahasiswa - blog pribadi

Excelsior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Polemik Kebijakan Sertifikat Vaksin sebagai Syarat Aktivitas Masyarakat

24 Oktober 2021   22:48 Diperbarui: 25 Oktober 2021   08:28 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi Covid-19 memaksa pemerintah untuk membuat dan menetapkan kebijakan baru demi menekan tingkat penularan Covid-19. Salah satunya adalah program wajib vaksinasi di atas 12 tahun. Pemerintah menggalakkan program tersebut tentunya supaya angka positif Covid-19 dapat terkendali. Namun, terdapat pro dan kontra dari pihak masyarakat yang memiliki bermacam-macam anggapan negatif mengenai vaksinasi Covid-19. Menghadapi hal tersebut, pemerintah telah berupaya untuk memberikan penyuluhan terkait vaksinasi Covid-19 dan mengambil sebuah langkah yang cukup efektif yaitu membuat kebijakan wajib vaksin sebagai syarat untuk melakukan berbagai aktivitas.

Dewasa ini, sertifikat vaksin dijadikan sebagai salah satu syarat untuk melakukan berbagai aktivitas, seperti melakukan perjalanan dan memasuki fasilitas publik. Sertifikat vaksin telah dianggap sebagai “golden ticket” bagi masyarakat untuk dapat memperoleh akses dalam hal mobilitas dan penggunaan fasilitas layanan publik. Diterapkannya kebijakan sertifikat vaksin Covid-19 sebagai syarat untuk melakukan berbagai aktivitas ini sejalan dengan harapan agar herd-immunity dapat segera tercapai. Kebijakan tersebut dapat dibenarkan secara etis demi kemaslahatan bersama. Namun demikian, terdapat beberapa faktor yang harus dipertimbangkan pemerintah sebagai pembuat kebijakan dalam proses pemberlakuan kebijakan tersebut.

Terbatasnya stok, suplai, dan akses masyarakat terhadap vaksin Covid-19 merupakan salah satu faktor utama kebijakan sertifikat vaksin sebagai syarat beraktivitas perlu ditinjau ulang. Distribusi vaksin yang terbatas di daerah-daerah tertentu dinilai masyarakat sebagai bentuk “ketidakadilan sosial”. Kebijakan tersebut dapat membatasi hak mobilitas dan menghambat aktivitas sebagian masyarakat yang pada kasus ini bukannya tidak bersedia untuk divaksin, namun karena sulitnya akses vaksin. Kebijakan ini dapat dikatakan masih terlalu dini untuk diterapkan. Persentase vaksinasi Covid-19 di Indonesia masih mencapai 31,29% dengan jumlah total populasi yang telah mendapatkan vaksin dosis kedua sebanyak 550.456 jiwa dari total target vaksinasi sebanyak 208.265.720 jiwa. Kebijakan tersebut “layak” untuk diterapkan ketika persentase vaksinasi di Indonesia sedikitnya telah mencapai 50% untuk menghindari timbulnya ketidakadilan sosial. Maka dari itu, kebijakan tersebut harusnya sejalan dengan peningkatan tingkat pendistribusian vaksin Covid-19 hingga ke daerah-daerah pelosok.

Terlepas dari keterbatasan stok dan aksesibilitas vaksin Covid-19, terdapat beberapa komponen masyarakat yang memang tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan vaksin Covid-19, seperti anak yang berusia kurang dari 12 tahun, orang dengan penyakit bawaan (komorbid), dan orang dengan riwayat positif Covid-19 yang harus menunggu selama jangka waktu tertentu untuk mendapatkan vaksin Covid-19. Pemberlakuan kebijakan wajib menunjukkan sertifikat vaksin sangat menghambat aktivitas mereka. Hak mobilitas dan hak untuk menggunakan fasilitas layanan umum yang idealnya dapat diperoleh masyarakat dengan mudah menjadi ditekan dan dibatasi, hal tersebut jelas merupakan sebuah bentuk ketidakadilan.

Selain itu, kebijakan sertifikat vaksin sebagai syarat beraktivitas dan mendapatkan akses ke fasilitas serta pelayanan publik juga harus lebih diperjelas. Kebijakan tersebut tentunya tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak kepentingan-kepentingan mendesak dari pihak masyarakat yang ingin mendapatkan layanan publik. Seperti yang terjadi baru-baru ini, seorang gadis korban percobaan pemerkosaan yang akan melapor ke Polresta Banda Aceh ditolak dengan alasan tidak memiliki sertifikat vaksin. Hal tersebut tidak bisa dibenarkan secara etis. Kasus tersebut menyangkut hak asasi dan tingkat urgensinya tidak bisa disandingkan dengan kebijakan kewajiban memiliki sertifikat vaksin.

Menimbang berbagai faktor di atas, pemerintah hendaknya meninjau ulang kebijakan sertifikat vaksin sebagai syarat untuk melakukan berbagai aktivitas dengan cara meningkatkan pendistribusian vaksin Covid-19 hingga ke daerah pelosok, membuat dan memberikan kebijakan keringanan bagi mereka yang memang tidak memenuhi syarat untuk melakukan vaksinasi, serta memperjelas fungsi diterapkannya kebijakan tersebut yaitu untuk meningkatkan tingkat vaksinasi Covid-19 agar tidak terjadi kasus-kasus lain yang tidak diinginkan.

  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun