Salah tokoh yang cukup penting dalam pergerakan kebangsaan menuju Indonesia merdeka adalah Amir Sjarifoeddin. Beliau disejajarkan bersama keempat tokoh bangsa lainnya yaitu Ir. Soekarno, Muhammad Hatta, Sutan Syahrir, dan Ibrahim Tan Malaka. Bedanya, cuma Amir Sjarifoeddin yang belum diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Stigma yang buruk dikenakan kepada beliau karena dugaan keterlibatannya di Madiun Affair tahun 1948 yang tidak bisa dibuktikan secara utuh. Perannya dalam perjuangan kemerdekaan ditutupi oleh simpang siurnya peristiwa Madiun tersebut. Setidaknya itu yang disampaikan oleh Frederick Djara Wellem dalam tesisnya, "Mr. Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia" (STT Jakarta, 1982)
Amir lahir di Medan tanggal 27 April 1907 (ada juga yang menyebutkan 27 Mei 1907), putra pasangan Djamin Baginda Soripada Harahap dan Basunu boru Siregar. Setelah menamatkan sekolah di Europeesch Lagere School (ELS) Medan tahun 1921, Amir berangkat ke Universitas Leiden Belanda untuk berkuliah di sana. Di Belanda beliau tinggal di rumah Dirk Smink (seorang Calvinis), dan di sana juga beliau mulai mengenal Agama Kristen. Beliau kembali dari Belanda pada 1927, setelah tidak sempat menamatkan pendidikannya. Di Jakarta Amir kemudian melanjutkan studinya di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Batavia) dan selesai tahun 1930.
Sumbangsih Amir dalam membentuk pondasi kebangsaan nampak pada saat penyelenggaraan Kongres Pemuda II di Kramat Raya 106. Amir Sjarifoeddin diutus oleh Jong Bataksbond (Perhimpunan Pemuda Batak) untuk terlibat sebagai Bendahara Umum Panitia Kongres. Namun miris ketika hari ini kita menemukan nama Amir Sjarifoeddin tidak sedikit pun dicantumkan di Museum Sumpah Pemuda di Jalan Kramat Raya 106 tersebut. Selain aktif di Jong Bataksbond, Amir juga turut mendirikan Partai Indonesia (PARTINDO) yang berideologi Marhaenisme pada tahun 1931. Selain itu beliau juga aktif menulis dan menjadi redaktur Poedjangga Baroe, majalah Banteng dan Indonesia Raja (surat kabar terbitan Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia). Karena dianggap mengancam pemerintah kolonial, Amir ditangkap dan dipenjarakan selama 18 bulan pada tahun 1933.
Setelah Jepang merebut kekuasaan dari Belanda, Amir salah satu yang paling keras melawan pemerintah fasis tersebut. Dia mendirikan Gerakan Anti-Fasis yang bekerja di bawah tanah. Hal ini membuat dia ditangkap pemerintah kolonial Jepang dan dijatuhi hukuman mati, namun dibela oleh Bung Karno sehingga eksekusi urung dilakukan. Namun hal ini tidak juga membuat Amir Sjarifoeddin menghentikan perjuangannya mengusir penjajah.
Kekristenan Amir
Kekristenan bukanlah merupakan spiritualitas baru bagi Amir seperti yang diungkap oleh beberapa orang. Kakek Amir yang bernama Sutan Gunung Tua adalah penganut Kristen yang taat. Pergaulan Amir dengan kakeknya sangat intim pada masa-masa beliau kecil di Sumatera Utara. Walaupun Amir lahir dalam keluarga muslim, namun perjumpaannya dengan kekristenan merupakan perjalanan panjang yang membuat seorang Amir yang terpelajar akhirnya memilih untuk dibaptis. Beliau dibaptis pada tahun 1935 oleh Pendeta Peter Tambunan di HKBP Kernolong, Kramat Jakarta. Hal ini juga tidak terlepas dari proses-proses dialog dengan Dirk Smink di Belanda, dan juga diskusi-diskusi Alkitab bersama Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV op Java) di Kebon Sirih. CSV op Java ini yang suatu saat berubah menjadi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.
Artikel Amir berjudul, "Menuju Jemaat Indonesia Asli" (1942), ingin menegaskan posisi orang-orang Kristiani yang meng-Indonesia. Wawasan Amir terkait teologi dan politik yang begitu luas, membuatnya sangat disenangi ketika memimpin khotbah setiap ibadah minggu. Baik itu di HKBP Kernolong maupun di tempat lain. Dasar pemikiran itu pula yang menginspirasi dokter Johannis Leimena (sahabatnya di CSV) mengemukakan gagasan tentang "dwi-kewarganegaraan" umat Kristen. Hal ini disampaikan Leimena dalam pidato pendirian GMKI: "...GMKI bukanlah merupakan Gesellschaft, melainkan ia adalah suatu Gemeinschaft, persekutuan dalam Kristus Tuhannya. Dengan demikian ia berakar baik dalam gereja, maupun dalam Nusa dan Bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari iman dan roh, ia berdiri di tengah dua proklamasi: Proklamasi Kemerdekaan Nasional dan Proklamasi Tuhan Yesus Kristus dengan Injilnya, ialah Injil Kehidupan, Kematian dan Kebangkitan."
Nasionalisme Amir
Sejarahwan Gereja, Jan Aritonang mengatakan bahwa perjuangan Amir Sjarifoeddin terutama tidak dimotivasi oleh kekristenannya semata-mata, melainkan karena kebangsaannya. Amir berulang kali mengajak umat Kristen untuk juga ikut dalam gerakan kebangsaan menuju Indonesia merdeka. Hal ini kemudian mengubah citra umat Kristen pada masa itu, bahwa umat Kristen bukan pendukung kolonial Belanda, tapi justru turut berjuang melawan penjajahan untuk mewujudkan Negara Indonesia. Ciri politik Amir Sjarifoeddin yang berdasarkan sosialisme, menurutnya sesuai dengan gerakan pembebasan manusia yang diinisiasi Yesus.
Melalui Badan Persiapan Persatoean Kaoem Keristen (BPPKK), Amir Sjarifoeddin menggugah kesadaran berpikir umat Kristen untuk aktif berpolitik dalam rangka mewujudkan Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Namun bagi Amir, partai politik agama bukanlah bentuk ideal dari partisipasi perjuangan umat Kristen. Umat Kristen harus melebur dalam kelompok-kelompok kebangsaan untuk membentuk identitas ke-Indonesiaan yang ragam. Oleh karena itu, dia lebih memilih bersama-sama dengan Sutan Syahrir membentuk Partai Sosialis.
Kehadiran Amir Sjarifoeddin pada Kongres Serikat Buruh Kereta Api (SBKA) tahun 1948 di Yogyakarta, dianggap bagian dari Peristiwa Pemberontakan PKI Madiun. Kedekatan Amir dengan Musso pimpinan PKI-FDR pasca impeachment-nya dari jabatan Perdana Menteri, dianggap melakukan perencanaan makar. Setelah itu Amir ditangkap dan dijebloskan ke penjara seraya menunggu vonis mati bagi dirinya. Bung Karno sebenarnya telah memberikan arahan untuk membatalkan vonis mati Amir, tapi eksekutor menjalankan perintah yang berbeda. 19 Desember 1948, seminggu sebelum Natal, Amir Sjarifoeddin dieksekusi di Ngalihan Solo oleh sekelompok regu tembak. Pada saat proses eksekusi, Amir tetap setia mengumandangkan Indonesia Raya dan Internazionale dengan Injil di tangannya. Hal ini yang membuat Dipa Nusantara Aidit, pada suatu Sidang DPR tahun 1957 bersaksi: "Amir Sjarifoeddin bermarga Harahap, tidak kalah Kristennya dari kebanyakan Kristen lainnya, dieksekusi dengan Injil ditangannya."