DARI SAMARINDA MENUJU JALAN LAIN KE YERUSALEM
November 2016, setelah aksi massa besar-besaran di bulan itu juga yang dikenal sebagai Aksi 411, terjadi insiden pelemparan bom molotov di Gereja Oikumene Samarinda. Seorang anak kecil bernama Intan Marbun menjadi martir untuk sebuah gelombang empati dan dukungan terhadap toleransi dan kebhinnekaan, di waktu kemudian. Dari seluruh seantero negeri ini menyatakan kesedihan dan keprihatinan karena kembali jatuh korban atas “kegagalan menafsirkan kebangsaan dan keimanan” yang selalu jadi momok menakutkan bagi negeri ini. Begitu pula GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia-red) yang hadir bersama Mr. Taher Ibrahim Abdallah Hamad, Wakil Duta Besar Palestina untuk Indonesia. Hadir untuk menyatakan dukungan toleransi beragama melalui perayaan Natal.
Kehidupan di atas bumi ini tidak hanya wajib dilakukan secara bersama, namun juga bersesama.
Menurut Ishak Ngeljaratan, kehidupan bersesama merupakan kehidupan dialogis yang saling mendalami antar sesama manusia. Tidak sekedar saya hidup, dan anda hidup, namun bagaimana bisa saling menghidupkan. Oleh karena itu, Mr. Taher memenuhi undangan GMKI untuk menyatakan pesan-pesan perdamaian di tengah-tengah warga gereja yang dihantui ketakutan untuk melaksanakan peribadatan di Kota Samarinda.
Hal yang saya pikir bukan merupakan seremonial belaka ketika Wakil Dubes Palestina itu, begitu emosionil berbicara soal perdamaian. Negara Palestina yang telah diperjuangkan sejak lama (sejak sebelum berdirinya Israel tahun 1948) selalu mengalami pasang surut rekonsiliasi. Konflik Israel-Palestina selalu menggoda politik asing untuk turut campur ke dalamnya. Solusi-solusi yang ditawarkan oleh PBB kadang dilanggar oleh Israel atau diveto oleh Amerika. Sehingga hari demi hari Israel semakin stabil berdiri di atas tanah air Palestina.
Pengetahuan akan runutan sejarah oleh umat beragama di dunia, khususnya di Indonesia begitu dilemahkan oleh paradigma yang salah akan konflik di Palestina. Kesalahan berpikir (fallacy) tersebut akhirnya mempolarisasi pengikut agama, bahwa Palestina adalah perjuangan Islam, dan Israel adalah Kristen dan Yahudi. Banyak pula gereja yang gagal memberikan pandangan kepada jemaat akan posisi gereja dalam hal ini, menyamakan Bangsa Israel lampau dengan Zionis Israel masa kini, menyamakan Bangsa Filistin lampau dengan Palestina masa kini.
Padahal dalam memperjuangkan Negara Palestina yang merdeka tidak sedikit pahlawan-pahlawan Kristen yang gugur. Sebut saja George Habash, seorang mahasiswa kedokteran dari keluarga menengah ke atas di Palestina. Keluarganya mengalami penderitaan semasa perang Arab-Israel tahun 1948, yang akhirnya membawanya mendirikan Popular Front for Liberation of Palestine (PFLP). PFLP merupakan faksi terbesar kedua setelah Fatah dalam PLO. Selama puluhan tahun pendudukan Israel, banyak dari warga Kristen Ortodoks yang akhirnya keluar meninggalkan tanah airnya, terusir oleh penjajahan. Banyak dari diaspora Kristen Palestina ini hidup di Amerika Latin. Walaupun begitu, menurut Taher, sampai sekarang setiap Desember ornamen-ornamen Natal tetap menghiasi lorong-lorong di Palestina. Ini menunjukkan toleransi kehidupan beragama yang cukup tinggi. Situs-situs keagamaan bernuansa Abrahamik yang sudah ada sejak semula, sangat dihargai. Tempat kelahiran Yesus di Betlehem dihormati sebagai tempat suci. Selain itu penghormatan akan umat minoritas juga pada segmen birokrasi. Ada beberapa kota yang secara norma biasa dipimpin oleh Kristen, antara lain Ramallah. Bahkan Menteri Pariwisata selalu Kristen, biasanya dari Betlehem.
Ini menunjukkan bahwa perjuangan Palestina merupakan perjuangan bersama, tidak hanya Islam, tidak hanya Arab, namun seluruh rakyat Palestina bahkan seluruh bangsa yang membenci penjajahan.
Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait Penghentian Perluasan Pemukiman Israel harus segera diimplementasikan, setelah sikap Amerika yang tidak memveto keputusan yang telah disepakati oleh 15 negara anggota DK PBB tersebut. Hal ini adalah langkah baik untuk memulai membicarakan solusi dua negara. Peralihan kekuasaan di Amerika cukup mengkhawatirkan masa depan kesepakatan damai, namun bukan tidak mungkin solusi dua negara bisa terjadi lebih cepat dari espektasi.
Dari Kota Samarinda yang diguncang keresahan ini, semangat kerukunan ingin kami tebarkan ke seluruh dunia agar tidak ada lagi orang yang membenci sesamanya karena agama, suku, bangsa dan warna kulit. Semangat yang sama ingin kami tebarkan juga agar penjajahan terhadap bangsa apapun di atas dunia dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Agar anak-anak Palestina punya harapan akan masa depan cerah di atas tanah air dan negara sendiri, begitu pula anak-anak bangsa Indonesia tidak takut untuk berdiri tegak setara dengan sesama anak-anak bangsa Indonesia lainnya.
Januari 2017