Tarakan adalah sebuah kota pulau di selat yang berada di Laut Sulawesi (Celebes Sea) yang hampir mendekati wilayah Malaysia di Kalimantan bagian timur laut. Berada di Kordinat : 3°14'23"-3°26'37" LU dan 117°30'50"-117°40'12" BT, kota ini hanya memiliki luas 250,80 km2 namun jika digabung dengan Pulau Sadau luasnya mencapai 657,33 km2.
Tak banyak yang menarik dari kota ini, selain udaranya yang panas karena terdiri atas dataran rendah yang dominan kering. Beberapa waktu yang lalu saya datang ke tempat ini karena tugas-tugas organisasi dan langsung memahami bahwa Kota Tarakan adalah sebuah kota tua yang sudah ditinggalkan peminatnya, manisnya sudah diperas dan sekarang tinggallah sebagai kota yang strategi pembangunannya mentok.
Asal mula kata Tarakan berasal dari bahasa Tidung, yaitu “tarak” (bertemu) dan “ngakan” (makan). Jika diharafiahkan artinya pulau ini dulunya merupakan tempat pertemuan untuk beristirahat dan makan bagi para nelayan-nelayan suku Tidung. Memang pulau ini dulunya dibawah kekuasaan Kerajaan Suku Tidung dengan rajanya yang terkenal bernama Benayuk dari Menjeletung (memerintah selama ± 44 musim).
Sekarang pulau ini dihuni berbagai suku bangsa yang datang dan mendiami tempat ini antara lain Dayak, Jawa, Tionghoa, Bugis dan Toraja. Hubungan harmonis terjalin antara kelompok pendatang dan pribumi sejak sekian lama, kecuali kerusuhan tahun 2010 antara Suku Tidung dan Suku Bugis (sub-etnis Letta).
Letta sendiri merupakan sebuah sub-etnis dari pitu massenrempulu di wilayah Kabupaten Enrekang yang juga wilayahnya sedikit mengiris Kabupaten Pinrang. Sub-etnis Letta tidak berbahasa Bugis atau Makassar, namun menggunakan bahasa Tae’ (sebuah bahasa yang dipakai oleh Suku Toraja, orang-orang di Luwu, sub-etnis Mamasa, sub-etnis Pattinjo, dan Massenrempulu pada umumnya).
Tahun 1896 sebuah perusahaan minyak Belanda, Bataavishe Petroleum Maatchapij (BPM) menemukan adanya sumber minyak di perut bumi pulau ini. Dan mulailah eksplorasi serta eksploitasi “emas hitam” di pulau ini. Kedatangan Jepang pertama kali ke Indonesia setelah membom Pearl Harbour (pangkalan militer USA di Hawaii), adalah dengan menyerbu dan menduduki Pulau Tarakan pada 11 Januari 1942. Begitu spesial dan strategisnya pulau ini sehingga menarik armada Jepang untuk mendudukinya terlebih dahulu, sebelum menduduki daerah-daerah lain di Indonesia. Tak lain karena hasil minyak buminya yang melimpah yang pada saat itu sangat dibutuhkan Jepang untuk mendukung perang Asia Timur Raya yang sedang berlangsung. Hingga kini di seluruh seantero Pulau Tarakan kita dengan mudah dapat menemukan sumur-sumur minyak yang terus melakukan aktivitas pemompaan.
Pada tahun 2012, Kalimantan Utara resmi terbentuk sebagai provinsi baru setelah memisahkan diri dari Kalimantan Timur. Harapan akan percepatan pembangunan di wilayah timur laut pulau Kalimantan ini semakin mendorong semua warganya untuk bahu-membahu bekerja keras memajukan daerah. Selain sebagai kota terbesar di Kalimantan Utara, Tarakan juga dikenal sebagai kota terkaya ke-17 di Indonesia, sehingga sudah seharusnya Kota Tarakan yang diplot sebagai ibukota provinsi. Namun dengan berbagai pertimbangan termasuk ruang untuk penataan wilayah kota provinsi yang sudah sangat terbatas di Tarakan sehingga pilihannya jatuh ke Tanjung Selor, sebuah kota tua yang lain yang ada di bibir timur pulau Kalimantan.
Walaupun tidak dijadikan ibukota provinsi, peluang Kota Tarakan sebenarnya cukup besar untuk tetap memacu dirinya. Cita-cita pemerintah kota untuk menjadikan Tarakan sebagai The Little Singapore cukup tergambar dengan pencapaian-pencapaian yang dilakukan selama ini. TaglineBAIS (bersih, aman, indah, dan sejahtera) terejawantahkan dengan diraihnya Piala Adipura tiga kali berturut-turut, serta pemanfaatan sebuah wilayah di tengah kota sebagai Kawasan Wisata Konservasi Mangrove dan Bekantan (KKMB) yang luasnya sekitar 9 ha. Di kawasan ini berjenis-jenis spesies flora dan fauna dilindungi, antara lain primata bekantan (nasalis larvatus), ikan tempakul (peripthalmus sp.), burung cekakak (halcyon chloris), ular pohon (chrysopelea paradisi), pohon jenis api-api (avicennia sp.) bakau bunga kecil (bruguiera sp.), pidada (sonneratia sp.), rhizopora sp.,tapak kuda (ipomoea pes-caprae), dan lain-lain.
Selain itu, walikota juga mendukung proyek nasional pembangunan tol laut yang memasukkan pelabuhan Tarakan sebagai salah satunya. Lahan yang akan digunakan sekitar 4,8 hektar dengan anggaran yang disiapkan pemerintah dalam bentuk PNM sebesar 130 miliar rupiah. Terminal penumpang berkapasitas 10.000 orang yang dilengkapi dengan 2 garbarata, akan dibangun dengan menggunakan anggaran PELINDO sebesar 100 miliar rupiah. Dengan ini diharapkan bahwa koneksitas pelabuhan Tarakan dengan pelabuhan-pelabuhan lain yang semakin tinggi dapat juga menunjang percepatan pembangunan di Kota Tarakan. Dampaknya secara tidak langsung akan membuat harga barang dan jasa bersaing, sehingga daya beli masyarakat juga tumbuh. Sekedar info, Grand Tarakan Mall dikenal sebagai salah satu mall tersepi pengunjung di Indonesia versi On The Spot, sehingga dari 115 stan yang tersedia hanya 15 stan yang terisi.
Kedepannya Tarakan tidak lagi dikenal sebagai kota yang terus menerus “memuntahkan isi perutnya” (minyak bumi) walaupun tidak terlalu terasa manfaatnya bagi warganya, namun harus berubah dengan menetapkan strategi pembangunan kota yang berbasis jasa dan industri yang harus dimulai dengan pembangunan manusia serta pola hidup masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H