Pasca pilpres 2014, banyak media partisan yang muncul dengan isi yang menyudutkan salah satu kubu. Rupanya sampai saat ini media tersebut tetap bertahan dan terus melancarkan serangan. Entah sampai kapan.
Media-media ini kebanyakanya mengait-ngaitkan antara islam dan politik. Tulisan reportase yang sangat tidak memenuhi standar dan hanya bertujuan untuk mengaduk emosi para pembaca muslim latah dan kader fanatik salah satu parpol islam yang terlanjur sakit hati dengan Jokowi sejak 2012 silam.
Masyarakat kita yang mayoritas muslim ini banyak yang latah. Silau dengan judul yang bombastis dan isi tulisan yang mencengangkan, kemudian tidak jarang akal dan logikanya mendadak tumpul sehigga tidak lagi berpikir tentang sumber dan nalar isi sebuah tulisan.
Bukan mau mengungkit, tapi ada baiknya saya ingatkan. Mereka yang saat kampanye lalu menebar isu bahwa jika Jokowi menjadi presiden, maka Jalaludin Rahmat JIL akan menjadi mentri agama. Ini berhasil membuat emosi banyak masyarakat latah, yang kebetulan saya tahu betul dan harus berdebat panjang saat itu dengan teman-teman. Belum lagi isu bahwa kementrian agama akan dihapus dan ditiadakan, berita ini yang tidak jelas sumbernya berhasil diblow up oleh kader-kader parpol fanatik dan akhirnya membuat geram NU. Banser NU yang kekuatanya lebih besar dari parpol islam tersebut atau FPI sekalipun sudah berniat menyerang istana jika sampai itu terjadi.
Bayangkan saja, hanya karena satu isu yang dipelintir sedemikian rupa, berhasil membuat banyak orang emosi. Saya curiga konflik di timur tengah awal mulanya dari hal semacam ini. Lantas di mana keislaman kader parpol islam tersebut? Islam jenis apa yang mereka anut? Sampai menghalalkan segala cara hanya untuk menyerang lawan politiknya? Islam macam apa yang membolehkan ummatnya melakukan fitnah keji, dan setelah itu mereka tidak merasa bersalah sedikitpun namun malah terus menebar kebencian.
Belum lama ini ada kasus polisi yang menyerbu musholla karena mahasiswa yang berdemo bersembunyi di sana. Berita ini kemudian dibesar-besarkan dan disejajarkan dengan penyerangan israel kepada palestina. Yang benar saja? Malah ada yang membuat opini publik rezim Jokowi diktator dan sebagainya.
Padahal ini masalah sederhana, masalah antara polisi dan mahasiswa, kenapa yang salah presidenya? Ini kan secara logika sama saja dengan kasus korupsi Anas, Nazarudin, Tubagus, Atut, Lutfi Hasan Ishaq dan lainya yang kemudian kita salahkan SBY. Apa iya logika kita sekerdil itu?
Belum lagi soal polisi yang katanya masuk musholla tanpa melepas sepatu. Menginjak-nginjak perasaan ummat muslim? Yang benar saja! Kita harus lihat secara keseluruhan. Pada peristiwa tersebut ada wartawan, mahasiswa, dan polisi yang masuk ke dalam musholla tanpa melepas alas kaki, tidak hanya polisi. Tau penyebabnya apa? Sebab mahasiswa yang sudah membuat geram polisi karena ulahnya itu lari dan bersembunyi di musholla. Lihatlah mahasiswa yang masih memakai helm, apa iya ke musholla pakai helm? Yang benar saja!
Ini kan seperti preman yang sudah membuat onar, namun karena dikejar polisi kemudian preman tersebut lari ke musholla. Apakah kemudian yang disalahkan adalah polisinya? Wah kalau begitu logikanya, besok atau lusa kalau ada pelaku tindak kriminal baiknya lari saja ke musholla. Kalau polisi mengejar dan masuk tanpa melepas alas kaki, maka yang salah polisinya -padahal penjahatnya juga tidak melepas alas kaki.
Tentu dalam hal ini saya tidak berniat menyamakan mahasiswa dengan penjahat atau preman, meski keduanya sangat mirip dari segi anarkisnya. Maksud dari tulisan ini adalah membuka logika dan nalar kita sebagai manusia, memberi porsi yang lebih banyak ketimbang perasaan dan fanatisme. Kalian bisa sakit hati saat kalah di pilpres lalu, parpol sudah habis milyaran bahkan triliunan hanya untuk bertanding melawan tukang mebel, kita maklum kalau kalian sakit hati. Tapi bukan seperti ini caranya.
Jika kemudian ada kelompok masyarakat yang menuntut Polri untuk meminta maaf, saya rasa itu tidak perlu. Tapi demi menjaga perasaan masyarakat banyak dan melakukan diplomasi jalan tengah ala SBY, sebaiknya Polri mengungkap kronologisnya dan menjelaskan bahwa yang masuk ke musholla dengan sepatu itu bukan hanya polisi, tapi mahasiswa dan wartawan juga. Polisi melakukan pengejaran karena mahasiswa bersembunyi di musholla, dengan helm masih di kepala dan sepatu belum dilepas. Kejadian tersebut murni karena pengejaran, bukan menyerang rumah ibadah dan orang yang sedang shalat di dalamnya. Setelah penjelasan, barulah meminta maaf jika itu dianggao keterlaluan. Meski secara logika, masyarakat pasti maklum karena kelakuan mahasiswa yang sudah persis preman dan berdemo karena dibayar cukup memuakkan. Hal ini harus jelas, agar para penebar isu dan orang-orang yahudi tersebut bungkam.