Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Rupiah dan Mimpi Indonesiaku

26 Februari 2015   01:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:30 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1424872770205613495

[caption id="attachment_399418" align="aligncenter" width="560" caption="KIE adalah kode IDR/USD. Saat saya capture nilainya 12.851 perdollar. Dalam chart saya tarik ke canlde tahun 2008 bulan november."][/caption]

Dollar terus menguat dan membantai semua mata uang yang ada di bumi. Termasuk CHF Swiss yang sebenarnya cukup berhasil melakukan penguatan dengan tidak memperpanjang fixed rate terhadap Euro. Namun inilah Amerika, strategi penguatan tersebut sepertinya hanya bersifat sementara. Perlahan-lahan CHF kembali tertekan, meski secara tekhnikal semua indikator sudah menunjukkan over bought dan akan kembali menguat.

Meski rupiah tidak sekuat Euro, Swiss, Australia dan negara dengan mata uang siap perang, namun pola yang ditunjukkan sama saja. Saat dollar menguat, semua mata uang melemah tanpa terkecuali.

Dalam kondisi seperti sekarang (ekonomi Amerika membaik), memang tidak ada yang bisa menahan laju dollar. BI sempat melakukan intervensi pasar dengan membeli SBN dan berhasil membuat pergerakan rupiah lebih halus. Namun intervensi semacam ini tidak bisa dilakukan secara jor-joran karena bisa membuat cadangan devisa menipis. Pasca intervensi desember lalu, kini rupiah kembali bergerak di kisaran angka yang sama (seperti tidak terjadi intervensi). Minggu ini rupiah menyentuh titik support di kisaran/mendekati 13,000 per dollar (Desember 2008).

Sebenarnya kita tak perlu terhenyak, semua tren mata uang dunia memang sedang melemah terhadap dollar. Namun karena kita masih sangat tergantung dengan impor, maka penguatan dollar menjadi lebih bermasalah dibanding Negara-negara lain yang tidak terlalu bergantung.

Dari sini saya melihat miris sekali sebuah negara besar dengan penduduk ratusan juta jiwa tidak memiliki kekuatan untuk melawan di perang mata uang. Berbeda dengan Tiongkok, meski agak anti mainstream dengan melegalkan copy-paste, namun terbukti ampuh untuk menahan laju impor.

Kita semua tau kalau Tiongkok adalah negara yang sangat gencar melawan produk asing. Barang elektronik dicopy, mobil copy, sampai produk sesepele facebook, youtube, dan google pun mereka coba perangi habis-habisan dengan buatkan KWnya sehingga rakyat Tiongkok tak perlu menggunakan google dan semua sosial media dari luar.

Saya ingat betul ketika teman-teman asli Tiongkok tidak mau menggunakan facebook. Meski akhirnya mereka menyerah karena dosen membuat grup diskusi yang mewajibkan semua mahasiswa untuk masuk di dalamnya.

Nampak jelas ada sisi nasionalisme dan fanatisme yang sangat mendarah daging dalam diri mereka. Dengan senang hati Chen Yun menjelaskan pada saya soal copy-paste di negaranya. Jika ada 1% saja yang beda, maka itu tidak bisa disebut melanggar intellectual property act. Pembebasan semacam ini membuat warganya menjadi sangat kreatif dan dinamis. Terlepas apakah hal ini benar atau tidak, namun melihat kenyataan, sepertinya cukup masuk akal.

Selain itu, sama sekali tidak ada keraguan dalam dirinya terhadap kualitas produk Tiongkok. Saat saya bercerita persepsi barang Tiongkok yang biasanya cepat rusak dan sebagainya, dia dengan enteng bilang "itu karena kamu belinya 'di luar' Tiongkok". Maksud di luar ini bisa di luar negara Tiongkok atau di luar komunitas orang-orang Tiongkok. Chen Yun ini memiliki laptop dan tablet made in Tiongkok yang saat saya coba pakai memang terbukti sangat nyaman, tidak seperti produk made in Tiongkok kebanyakan. Menurut dia memang ada banyak produk Tiongkok yang bagus namun hanya dinikmati oleh warga lokal.

Sementara Indonesia adalah kebalikan dari Tiongkok. Tidak hanya gadget dan kendaraan, bahkan kebutuhan pangan pun kita impor dari luar dengan alasan lebih murah dibanding beli dari petani. Luar biasa aneh. Bagaimana ceritanya? Saya tidak bisa membayangkan bagaimana bisa Indonesia mengimpor garam sementara di Madura garam menumpuk tak terbeli dan membuat petani garam merugi. Sejauh mata memandang, ratusan hektar tambak garam tak terpakai selama beberapa tahun terakhir. Itu masih sekitar daerah kelahiran saya, Sumenep. Belum lagi Sampang, Pamekasan dan Bangkalan yang sama-sama memiliki banyak tambak.

Kita, atau katakanlah saya harus mengakui bahwa diri ini tak secinta atau senasionalis Chen Yun pada negaranya. Bukan maksud membela diri, namun produk-produk lokal sekilas tidak masuk akal antara harga dan kualitas. Saya termasuk orang yang menganut “mending beli yang mahal asal awet dan nyaman daripada murah tapi ganti tiap tahun”.

Kenyataan ini harus dihadapi dan dijawab oleh pemerintah sesegera mungkin. Pada akhirnya kita harus bisa swasembada seluruh kebutuhan pokok dan harian. Gula, garam, beras, gandum, daging sampai ke kebutuhan yang sifatnya sekunder seperti mobil. Memang butuh proses lama dan akan ‘menyakiti’ sebagian pengusaha dan pemilik jatah impor. Tapi yang pasti hal ini harus dimulai.

Bayangkan, selama ini penguatan dollar menjadi momok sangat menakutkan. Tidak hanya bagi konglomerat yang memiliki hutang dollar dan pejabat ring satu yang memikirkan kenaikan hutang luar negeri, tapi kini sudah menyentuh masyarakat menengah ke bawah. Jika masih mengimpor kedelai, otomatis harga tempe naik dan daya beli dan laba bersih pengusaha menurun. Selemah itu negeri kita selama puluhan tahun.

Ini jelas bukan antara mampu dan tidak mampu, tapi kemauan. Saya melihat berkali-kali presiden Jokowi menyebut kata tersebut “kemauan”. Menteri Susi sudah menjawab keraguan publik yang pada saat nama beliau mencuat ke media sempat ‘ditertawakan’ hanya karena lulusan SMP. Pemberantasan mafia migas juga sepertinya berjalan lancar, setidaknya saat ini pertamina mengambil alih petral untuk melakukan pembelian sendiri dan distribusi langsung.

Namun belakangan ada yang lucu. Beras naik drastis namun pemerintah bersikukuh tidak mau mengimpor. Sangat percaya diri bahwa cadangan nasional masih cukup, namun mengapa beras kini cukup langka? Pasti ada yang tidak suka dengan keputusan pemerintah dengan harapan masyakat berteriak dan pemerintah mau membuka kran impor.

Walau bagaimanapun kita tetap harus melakukan perbaikan dan terus mengurangi impor agar perlemahan rupiah tak terlalu membuat kita bermimpi buruk. Terserah jika ada satu dua orang pengusaha pemain impor yang merasa dirugikan, biarkan saja. Sudah cukup. Ini seperti pengedar narkoba yang ditembak mati, rasanya cukup manusiawi untuk ‘membunuh’ importer nasional demi ratusan rakyat Indonesia dengan melepas ketergantungan pada impor.

Kita memiliki tanah dan laut yang sangat luas, bukankah lucu jika masih mengimpor gandum, beras, garam dsb dan ikan tak terbeli?

Ketahanan Pangan

Saya pernah bertemu dengan pengusaha asal pasuruan pada saat sarasehan penerima kalpataru Jawa Timur. Namanya Pak Hariyanto. Beliau ini memberdayakan masyarakat satu desa untuk memelihara sapi perah. Susunya sistem bagi hasil, sementara setiap rumah diberikan fasilitas bio gas agar tak perlu beli LPG. Sisanya akan dijual ke desa lain. Dari sini saya berpikir, sangat mungkin untuk memberdayakan satu desa untuk beternak sapi. Jika pemerintah mau memfasilitasi, pasti ada banyak desa yang siap mengikuti program ini. Dalam 2 tahun rasanya sudah bisa lepas dari ketergantungan impor.

Sementara untuk beras, gandum dan komoditas lainya juga bisa dibagi perdesa. Kita ini punya rakyat banyak dan pasti bahagia jika ‘diberi kerjaan’ spesialisasi.

Mobil Listrik dan Tekhnologi

Dahlan Iskan pernah bilang menyatakan ini saatnya untuk bersaing di industri mobil karena semua Negara masih dalam tahap penelitian. Beliau sudah berhasil membuat contoh, logika sederhananya tinggal produksi massal dan orang bisa beli. Asal harganya sesuai dan berkualitas, pasti ada pembeli.

Pesawat, ada Habibie dan keluarga yang saat ini sangat siap untuk produksi. Pemerintah harus mendorong percepatan. Indonesia tidak punya alasan untuk menahan diri seperti yang Habibie lakukan saat menjadi presiden karena kini kita tidak mengalami krisis.

Energi Alternatif

Saat melintasi kota Sumenep perkotaan, lampu-lampu pinggir jalan sudah menggunakan energi matahari. Jika ini dikembangkan, saya rasa masyarakat tidak akan terlalu bergantung dan menuntut PLN kalau hanya untuk kebutuhan keluarga. Sementara kebutuhan perusahaan dan rumah elit, silahkan pakai PLN.

Ah sepertinya saya sudah terlalu banyak beropini tentang negeri ini. Seolah pintar dan sebagainya. Meski jujur ingin saya katakan, di mata saya ini nampak sangat mudah. Namun sekali lagi, mengulangi kata Jokowi “ini soal kemauan”.

Saya bermimpi Indonesia di tahun sekian sudah tidak membutuhkan impor pangan. Masyarakat tak perlu lagi bayar PLN bulanan karena sudah ada energi matahari. Tak perlu juga beli BBM sebab bisa ngecharge kendaraan selayaknya gadget. Tak perlu impor pesawat tempur karena kita bisa sudah bisa bikin sendiri. Setelah itu kita tetap bisa tidur nyenyak meskipun Amerika sedang membantai mata uang Negara lain karena kita cukup aman dan nyaman untuk berdiri sendiri.

Indah ya mimpi? hehe

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun