Ada orang bilang negeri ini sedang sakit. BBM yang tak lagi disubsidi itu kini bergerak fluktuatif. Presiden baru saja memimpin lima bulan, tapi kebijakannya nampak keterlaluan. BBM naik turun seperti beliau sudah memimpin lima tahun. Rupiah terdepresiasi, beras sempat tak terkendali dan LPG tentu saja ikut-ikutan memaksa kaum pinggiran kembali pada kayu api. Semetara KPK dan Polri kembali berkelahi.
Wapres yang dulu sangat agresif dan atraktif, kini bergerak dalam senyap tak terdeteksi media. Membuat orang bertanya-tanya: apa yang dikerjakan Wapres? Jangan-jangan kisruh parpol adalah ulahnya? Mengingat pemeritahannya hanya memiliki suara minoritas di DPR. Entahlah, kini banyak orang menjadi dukun dengan prediksi alternatif.
Mungkin benar negeri ini sedang sakit, tapi beruntung kita buru-buru menyadarinya. Tidak seperti Fauzan yang tampan dan gagah namun mendadak mati setelah terdeteksi sakit lever dan gagal ginjal. Senyum dan tawanya sesempurna fatamorgana. Menipu dan membuat iri sekelilingnya. Dan kematiannya membuat mereke besimpati dan behenti mengutuk diri sendiri.
Indonesia baru saja masuk ke ruang operasi. Beberapa onderdil harus segera diganti, sebagian diamputasi untuk memperkuat ketahanan.
BBM sudah menjadi makanan ringan semua kalangan. Supir-supir harus hati-hati dan cermat mengisi, mahasiswa dan motor matic-nya bisa lebih banyak memakan anggaran orang tua dibanding nasi dan ikannya. Sementara roda empat pribadi membelinya tanpa kalkulasi. Anda bisa lihat lembaran biru dan merah jarang sekali mendapat kembalian dari penjaga.
Presiden dan wapres yang sejak dulu nampaknya sudah gemas itu kini saatnya memimpin penyerangan. Keempat kakinya sama-sama menginjak pedal gas kuat-kuat dan melupakan rem di sebelah kirinya.
Peta dan rencana-rencana menumpuk di tangannya. Beliau enggan berhenti sejenak untuk mencermati. Karena memang Indonesia sudah tertinggal cukup jauh di belakang barisan tetangga.
Petaka nyaris terjadi ketika pepres ditanda tangani. Beruntung rakyat berteriak dari kanan dan kiri yang membuat keduanya melepas pedal gas. Hanya melepas. Masih lupa dengan rem di sebelah kiri. Presiden sedikit kecut dan kecewa karena terlalu percaya, mungkin juga karena enggan berhenti di rest area. Tapi peduli apa. Presiden dan wapres kembali menginjak pedal gas dengan tenaga.
Indonesia memang bisa bergerak lebih cepat. Beberapa onderdil tua dan rongsokan sampah sudah dibuang di tong sampah sebelah ruang operasi tadi. Badan yang lebih ramping nan kecil lebih disukai Presiden dan Wapres dibanding badan mewah namun tak bisa melaju kencang.
Namun penonton sudah terbiasa dengan kemewahan yang menyilaukan dan membanggakan. Sorak sorai itu kini menjadi gerutu karena Indonesia hanya melemparkan sesuatunya di setiap tikungan. Penonton di trek lurus mulai bergemuruh memprovokasi.
Pemakzulan dan pelengseran mulai diwacanakan. Masing-masing titik memberi pakan pada kambing-kambing kampus untuk mengembek sekuat lolongan srigala. Skenario penolakan kunjungan dan membakar ban bekas kembali memeriahkan khazanah pembodohan media. Orang-orang di tikungan mulai disusupi mereka yang berdiri di garis lurus. Mereka berteriak sama nyaringnya dari kambing yang berdiri di barisan depan, membuat Presiden dan Wapres melongo memelankan laju.