[caption id="attachment_354872" align="aligncenter" width="480" caption="chart harga minyak dunia sepuluh tahun terakhir. sumber:Nasdaq"][/caption]
Seperti yang sudah kita ketahui bersama bahwa harga BBM sudah naik ke angka 8,500 rupiah per liter untuk bensin premium dan 7,500 rupiah untuk solar.
Berbeda dengan proses kenaikan BBM di era SBY, di pemerintahan Jokowi jumlah pro dan kontra nyaris sebanding. Dinamika partai politik pengusungpun tak sepenuhnya bulat mendukung kenaikan. Entah apakah by design atau memang murni aspirasi pribadi, beberapa politisi pendukung Jokowi menyuarakan menolak kenaikan.
Atmosfir pilpres masih kental seolah kampanye belum usai. Pendukung Jokowi hampir semuanya mendukung kenaikan BBM, sementara yang tidak memilih Jokowi pada pilpres lalu punya kesempatan untuk menyindir atau nyinyir, sekedar menyampaikan kekesalan pada rekan-rekan pendukung Jokowi.
Di balik drama kenaikan BBM ini, ada bumbu penyedap berupa isu yang membentuk opini publik bahwa sebenarnya pemerintah tidak perlu menaikkan BBM.
Wakil mentri keuangan Malaysia, Ahmad Maslan diberitakan oleh banyak media di Indonesia terkait komentarnya, bahwa beliau akan mengemukakan rencana penurunan harga BBM.
Sontak berita tersebut disambut meriah, mungkin karena kita terlalu sering mendengar berita negatif jika berhubungan dengan Malaysia. Entah berita tersebut benar atau tidak atau apakah ada berita yang disampaikan sepotong, namun yang jelas jauh sebelum berita ini mencuat, 'rakyat oposisi' di Malaysia sudah memprotes dan menuntut penurunan harga BBM.
Namun perdana mentri Najib Tun Razak seolah tidak mendengar pertanyaan tersebut dan mentri perdagangan dalam negeri, Hasan Malek menyatakan tidak bisa menurunkan harga BBM. Harga RM 2.30 (8,500 rupiah) akan tetap berlaku setidaknya sampai Juni 2015. Jadi sebenarnya komentar Ahmad Maslan terlalu didramatisir oleh media dalam negeri dengan judul "Malaysia bersiap turunkan BBM". Padahal kalau mau jujur, komentarnya tak beda jauh dengan politisi pendukung Jokowi yang menolak kenaikan BBM.
Persis seperti saat Jokowi masih sedang kampanye, Perdana Mentri Malaysia memang tidak bisa menjanjikan BBM turun meski rakyat pendukungnya banyak menginginkan hal tersebut. Malah Najib Tun Razak secara terbuka menyampaikan akan menaikkan harga BBM secara bertahap 20 sen setiap 6 bulan sekali. Walaupun sainganya Anwar Ibrahim sudah dengan berani menyatakan "hari ini partai oposisi menang, besok BBM dan tol turun" tetap saja tidak bisa mengalahkan partai pemerintah dan Najib tun Razak secara otomatis tetap menjadi Perdana Mentri Malaysia.
Ini berbeda dengan Prabowo yang tetap rasional saat kampanye. Beliau juga sempat menyatakan akan menaikkan harga BBM di atas 10,000 bahkan beberapa media mencatat 12,000 rupiah sebagai angka ideal. Tapi saat Jokowi menaikkan harga BBM menjadi 8,500, masyarakat yang tidak mendukungnya seolah lupa bahwa siapapun yang jadi presiden, menaikkan BBM adalah keniscayaan di negara importir.
Politik tanah air yang sedemikian dinamis menimbulkan banyak polemik. Mungkin kita juga masih ingat ketika banyak 'orang atas' menginginkan SBY untuk menaikkan harga BBM. Tentu dengan bebagai alasan. Namun SBY dengan gagahnya menolak dan bahkan seolah 'memprovokasi publik' bahwa ada intervensi dari kalangan luar istana.