Bagiku, perjalanan hidup setelah pernikahan ibarat berlayar di laut lepas untuk pertama kalinya. Aku dan kamu tidak akan pernah tau jalur yang akan kita lintasi nanti apakah bergelombang atau tenang, entah hujan berpetir atau cerah, karena bahasa awan dan angin tak pernah bisa kita mengerti.
Untuk itu, aku akan menyiapkan kapal terbaik yang menurut jangkauan batas logikaku akan aman untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Aku tidak akan pernah memaksa kapal sederhana yang kumiliki saat ini untuk segera berlayar, meskipun kamu yakin bisa selamat dengan berenang ke pulau terdekat jika nantinya kapal kita hancur dan tenggelam.
"Di pulau darurat itu nanti kita bisa bikin kapal lagi. Hancur lagi, bikin lagi, hingga akhirnya sampai di pulau impian. Kita akan selamat. Ada banyak pulau yang bisa kita singgahi jika tenggelam."
Aku terdiam dengan imajinasimu. Mungkin benar kata teman-temanmu, kamu bukan perempuan yang menuntut kesempurnaan, berani menghadapi tantangan dan lebih yakin pada logika keTuhanan.
Jangan salah faham. Aku juga petualang. Dari puncak tertinggi sampai lautan terdalam sudah pernah kutapaki. Tapi aku punya kalkulasi logis dan persiapan. Saat kuputuskan mendaki atau menyelam, aku dalam kondisi maksimal. Tentu saja aku tak pernah memaksakan diri.
Aku ingin membangun kapal yang sangat layak untuk kita. Agar derasnya hujan tak akan membasahi, kerasnya petir tidak bisa menghancurkan serta tingginya ombak tak mampu menenggelamkan. Kau tau kenapa? Karena aku tak mau kau berusah payah berenang, aku tak mau kita kehujanan dan kedinginan, dan aku tak mau segala hal yang bisa membuatmu menyempatkan diri untuk bersedih.
Kalaupun nanti kamu marah dan sedih, kuingin itu bukan karena kondisi kapal. Sekalipun nanti kita menemukan kesusahan, kuharap tidak sampai harus berenang bertarung nyawa. Jikapun nanti akhirnya Tuhan mengirimkan ombak dan petir di luar batas logis prediksi, aku tak akan menyesal, karena sudah berusaha menyiapkanya dengan maksimal. Walaupun kemudian kapal kita tenggelam, kita tidak akan menyesali masa lalu yang terburu-buru.
"Kalau nunggu sumpurna, kapan selesainya? Ga ada yang sempurna"
"Kalian bisa perbaiki kapalnya di pulau yang kalian lewati. Upgrading. Yang penting berlayar dulu"
"Kalaupun persiapan maksimal, tidak ada yang menjamin kapal kalian tak akan bocor atau kebanjiran"
Kuharap kamu tidak mau membenarkan kata mereka. Orang bisa menggunakan haknya untuk memberi nasehat, kita juga boleh menggunakan hak preogatif menentukan sikap. Karena bagaimanapun keputusan berlayar merupakan sifat logika, bukan sentimental seperti cinta.