Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kyai Idris Djauhari, Sosok Kyai Langka (part 2)

29 Januari 2015   14:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menyambung tulisan sebelumnya, masih tentang kyai Idris Djauhari. Part 1

‘Dongeng’ Sebelum Tidur

Di pesantren kami, setiap jam 21:00 semua santri wajib tidur. Namun sebelum tidur itu ada waktu 30 menit bagi kyai untuk memberi nasehat. Ini semacam dongeng sebelum tidur karena beliau tidak nampak sedang memberi ceramah, namun menyampaikanya dengan cara bercerita. Banyak hal yang beliau ceritakan, dari kisah zaman para nabi sampai cerita-cerita aktual dari dalam dan luar pesantren. Selalu ada intisari dan kesimpulan menarik.

‘Dongeng’ sebelum tidur ini menggunakan radio suara dakwah Al-amien. Selain didengar oleh santri, radio tersebut dapat didengar oleh masyarakat luar. Para santri akan berada di depan asrama masing-masing dengan pakaian tidur, duduk bebas entah bersila atau selonjor, mendengar suara kyai dari sound yang terhubung pada radio.Kyai Idris Djauhari adalah kyai yang paling sering menyapa kami sebelum tidur.

Meski pada beberapa kesempatan kadang kyai Tidjani Djauhari juga pernah memberi nasehat sebelum tidur. Beliau berdua adalah kakak adik, namun saat saya menjadi santri kyai Tidjani berperan sebagai orang yang lebih sering mengurus pesantren yang berhubungan dengan dunia luar karena memang memiliki jaringan yang sangat luas. Maklum saja, saat masih di Saudi beliau pernah menjabat sebagai muslim world league atau dewan rabitah alam al-islami pada kurun 1974-1988 dengan beda posisi. 1974-1977 bidang riset, 1977-1979 sekertaris departemen konferensi dan dewan konstitusi, 1979-1981 direktur bidang penelitian kristenisasi dan aliran modern yang menyimpang, terakhir 1981-1988 direktur bagian keagamaan dan aliran yang menyimpang. Beliau juga sering menjadi ‘konsultan’ pada curhat jumatan dan ragam acara pesantren. Namun kehadiranya yang tak lebih sering dari kyai Idris Djauhari menjadikanya nampak ekslusif. Mungkin nanti saya akan bahas sosok kyai Tidjani secara terpisah.

Santri Adalah Anaknya

Pada banyak kesempatan, kyai Idris Djauhari lebih suka memanggil kami anak dibanding dengan sebutan santri. Sekalipun menggunakan kata santri, tetap saja lebih dulu mengucapkan “anak-anakku” di awal.  Contoh “anak-anakku…santri tarbiyatul muallimien al-islamiyah”.

Pada banyak pelanggaran berat seperti merokok dan kabur dari pesantren, beliaulah yang menangani langsung santri bermasalah tersebut. Memanggil orang tuanya dan menanyakan komitmen anak tersebut sebagai santri. Jika memang sudah tidak ikhlas menjadi santri, beliau menyarankan untuk mencari sekolah lain yang mungkin lebih cocok.

Cobaan paling berat kyai, setau saya adalah saat ada salah seorang santri tsanawiyah meninggal. Proses meninggalnya kemungkinan besar karena terlalu aktif bercanda sehingga penyakitnya kambuh dan tak meninggal saat hendak dilarikan ke rumah sakit. Saat itu saya sedang dalam proses mengajar untuk negeri yang ditempatkan di Bekasi. Dari layar kaca saya melihat berita propaganda tersebut dengan judul “santri smack down menelan korban”. Saat itu memang sedang hot soal smack down.

Tidak penting lagi benar atau salah, ketika berita sudah sampai pada publik, maka secara otomatis akan membentuk persepsi masyarakat. Saya kurang tau pasti kejadian ini namun menurut cerita teman-teman yang mengajar di dalam pesantren menyebutkan bahwa kyai melarang adanya olok-olok atau sangsi kepada teman bermain santri yang meninggal, karena jelas kejadian tersebut adalah murni kecelakaan dan memang santri terkait memiliki penyakit yang tidak memungkinkanya bergerak aktif. Orang tua santri yang meninggal juga tidak menuntut apa-apa bahkan ingin membantu melaporkan media yang terlanjur mencemarkan nama baik pesantren. Entah kasus tersebut diusut sampai tuntas atau dibiarkan? Saya kurang tau.

Tidak Membeda-bedakan

Selama memimpin pesantren, beliau tidak membeda-bedakan anak kyai atau anak pejabat, semuanya sama. Ada banyak anak pimpinan pesantren yang disekolahkan di Al-amien, namun beliau menjamin kesetaraanya. Tidak akan ada perlakuan khusus. Maka ketika seseorang masuk ke pesantren, mereka wajib melepas arogansinya. Jika melanggar tetap dihukum, jika santri lain makan tempe, anak kyai juga makan tempe.

Bagi kyai, bodoh dan pintar juga tidak terlalu penting. Karena yang paling penting adalah akhlak. Jikapun ada santri yang memiliki nilai bagus namun melanggar, maka dia tetap akan kena sanksi. Jika harus diusir, maka akan diusir. Sudah banyak teman-teman yang sering juara lomba di luar kota, mengharumkan nama pesantren, namun ketika melanggar tetap akan dihukum sama seperti yang lain. Beberapa anak kyai juga ada yang diusir. Secara logika ini nampak kurang bisa diterima, bagaimana bisa orang yang berjasa mempromosikan pesantren kemudian diusir? Tapi begitulah. Beberapa kali beliau mengucapkan bahwa dirinya tidak perlu santri yang pintar namun melanggar. Lebih baik seorang santri yang nilainya tidak mencapai standar namun memiliki akhlak yang bagus, dan beliau menjamin santri yang tidak pernah melanggar tersebut untuk naik kelas meskipun nilainya buruk.

Menghargai Santrinya

Jika ada alumni datang bersilaturrahmi ke rumah beliau, pasti akan disambut selayaknya tamu-tamu penting. Akan lebih dulu diminta masuk ke ruang makan, di sana pembantu kyai akan menyiapkan makan pagi/siang/malam, tergantung waktu kedatangan tamunya. Baru setelah itu beliau akan menemuinya di ruang tamu yang terbuka. Menanyakan kabar dan sebagainya.

Pada tahun 2012 beliau sakit lumayan lama. Saat itu saya baru datang dari Kuala Lumpur. Awalnya saya merasa tidak perlu mengganggu kyai, namun menurut info dari teman-teman yang masih mengajar di pesantren, beliau masih menemui tamu dengan porsi yang lebih sedikit. Ya sudah berarti perlu datang.

Saya dan rombongan alumni yang datang dari luar Madura duduk cukup lama menunggu kyai di ruang tamu. Sampai akhirnya seorang santri meminta kami untuk masuk ke halaman dalam dan duduk di kursi. Biasanya kyai menemui tamunya lesehan di ruang depan yang terbuka. Tak lama setelah kami duduk, beliau datang dengan langkah tertatih yang merangkul pada santri. Kemudian duduk dan tersenyum melihat kami semua.

Saya duduk di kursi paling jauh dari beliau. Suaranya tidak jelas terdengar, entah apa yang beliau ucapkan pada orang-orang yang dekat dengan beliau. Sejenak beliau terdiam. Sambil tersenyum beliau melihat kami lekat-lekat secara bergiliran. Tak ada suara, tak ada obrolan seru seperti biasanya. Lalu beliau mengucapkan “alfatihah” dan kamipun membacanya. Setelah itu rombongan alumni tadi pamitan pulang, saya juga berniat seperti itu. Sudah tidak tega melihat beliau memaksakan diri menemui tamu. Entah apa yang ada di pikiranya saat itu, tapi andai saya menjadi beliau, sepertinya saya tidak akan mau menemui tamu karena kondisinya sudah tidak memungkinkan.

Dan moment paling mengharukan itupun terjadi. Saat hendak pamitan dan bersalaman, beliau tidak berkenan tanganya dicium. Malah memegang keras dan menyuruh duduk. “bagaimana kuliahnya?” suaranya samar terdengar meski jarak kami saat itu sudah sangat dekat. Beliau tetap menanyakan beberapa hal seperti kuliah, bagaimana di Malaysia? Dan sebagainya. Barulah setelah semua pertanyaanya saya jawab, beliau tersenyum. “ya sudah maannajah” ucapnya. Sayapun langsung sungkem dan pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, ada rasa takjub. Seorang kyai masih bersedia menerima santrinya meski kondisinya sedang kritis. Padahal kalau beliau mau, tinggal bilang saja dirinya sakit, maka santri-santri ini akan pulang tanpa rasa kecewa sedikitpun. Meski jarak tempuh yang harus kami lalui sangatlah jauh. Tidak masalah. Karena bagi kami kyai adalah orang yang sangat berhak untuk mengatakan itu sekalipun hanya sakit demam biasa. Tapi kyai Idris Djauhari memang beda, beliau sangat menghargai santri-santrinya, memperlakukan kami seperti anak sendiri.

Menolak Semua Tawaran Dari Luar

Di Madura, mungkin semua orang tau Al-amien dan kyai Idris Djauhari. Dengan popularitas seperti itu beliau sempat ditawari banyak peluang untuk menjadi bupati. Namun semua beliau tolak. Ada banyak partai yang ingin masuk ke pesantren dan menyapa para santri, pun semuanya beliau tolak. Entah berapa nominal uang yang politisi tawarkan untuk sekali pidato, namun kyai Idris memang seorang yang keras kepala dalam soal prinsip. Pada masa-masa kampanye, tidak ada satupun partai yang boleh masuk ke pesantren, entah itu melalui kaos-kaos, bendera atau pidato menyapa para santri. Tidak boleh. Bahkan soal dana bantuan dari pemerintah pusat yang sering dipotong oleh pemerintah daerah, beliau tidak mau kompromi. Beliau tidak akan tanda tangan jika harus mengaku menerima 100 juta (misalnya) namun yang diterima hanya 70 juta. Padahal hal semacam ini sudah biasa terjadi, namun bagi beliau tidak ada tawar menawar soal itu. Jadilah pesantren memang jarang sekali menerima bantuan dari pemerintah Indonesia, dan lebih sering mendapat bantuan dari perorangan atau pemerintahan Saudi yang sangat menghargai kyai Tidjani Djauhari.

Sempat juga ada yang ingin memberikan gelar (kalau tidak salah) honoris causa atas sistem pendidikan tarbiyatul muallimien al-islamiyah, namun beliau menolak. Entah apa alasanya, namun menurut logika yang saya simpulkan sendiri, sepertinya beliau ingin menghargai proses. Jelas beliau tidak menjalani proses kuliah yang kemudian membuat dirinya layak menyandang gelar akademik.

Itulah serangkaian cerita atau pengalaman dan penilaian saya tentang beliau. Tak lama setelah kami bertemu, beliau meninggal kamis 28 juni 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun