Bagi saya, menulis sebuah ide, opini, informasi ataupun cerita di ruang publik merupakan tantangan dan beban tanggung jawab yang tinggi. Itulah mengapa nama akun saya di Kompasiana adalah Alan Budiman, setidaknya saat orang mencaci tulisan dan menyerang pribadi, mereka mengutuk nama pena, bukan nama asli.
Saya memanfaatkan keluarga besar dan popularitas Kompasiana untuk menyampaikan sesuatu. Di sini saya menjadi bagian dari ratusan ribu kompasianer lainnya, berani menuliskan sesuatu dengan keras dan langsung tanpa takut ada teman-teman yang saya kenal baik di dunia nyata tersinggung.
Tulisan soal MMM, respon keras pada PSSI, DPR, Malaysia, politik dan beberapa catatan harian berhasil menguras emosi. Mulai dari perdebatan panjang sampai ancaman laporan polisi Indonesia dan Malaysia sudah pernah saya dapatkan. Beruntung Kompasiana memiliki penghuni yang cukup waras sehingga setiap tulisan selalu ada yang sependapat, beberapa komentar kontra sering dibela dan dibalas oleh kompasianer lainnya. Sementara laporan polisi yang saya dapat selama ini hanyalah ancaman kosong, sekalipun pernah ada yang mengirimkan gambar surat laporan polisi, alhamdulillah belum pernah duduk di meja hijau karena masalah tulisan.
Lama kelamaan teman-teman di dunia nyata tau bahwa Alan Budiman adalah Alifurrahman, teman mereka sendiri. Responnya beragam, para leader MMM mendadak bungkam karena merasa dirugikan, sementara yang beda pendapat dan beda pilihan pilpres juga satu persatu mengunfriend serta mendelcont.
Karena sudah dalam posisi seperti ini, maka sayapun menjadi terbuka. Jika dulu jarang sekali mempromosikan tulisan di facebook, belakangan saya mensharenya dengan privacy public, untuk semua orang.
Dari semua inilah lahir beberapa catatan yang unik dan menarik.
1. Bersiaplah Lebih Sering Mendapat Kritik (Cacian)
Jika di Kompasiana kita bisa tutup mata karena notifikasi tidak pernah secara langsung muncul, ketika di Facebook akan ada banyak angka merah di layar utama.
2. Menguji Kesabaran
Alam Facebook dengan Kompasiana jauh berbeda. Intensitas komentar jauh lebih dinamis. Tulisan sebuah artikel yang cukup menguras pikiran itu harus terima ditanggapi dengan komentar-komentar cemooh dan menyerang penulisnya, bukan lagi opini lawan opini, melainkan penilaian yang menyudutkan.
Saya yang bisa santai dan tenang menjawab komentar di Kompasiana rupanya sering terpancing dan tergoda untuk ikut mencaci. Namun beruntung ada banyak teman kompasianer di sana sehingga secara tidak langsung mengingatkan saya dalam menjawab komentar.