Ilustrasi, Masjid (Kompas cetak)
Islam Nusantara akhir-akhir ini sedang ramai dibicarakan, baik lokal maupun internasional. Muncul sebagai gagasan tema muktamar Nahdatul Ulama yang ke-33, menjadi booming dan geger karena dicounter oleh sebagian kelompok yang selama ini memang sering bikin rusuh, tukang fitnah, serta penebar kabar fiktif. Maka saat Islam Nusantara terdengar, tak ayal mereka dengan semangat memberi stempel bahwa Islam Nusantara hanya baju baru dari Islam Liberal. JIL = JIN. Dan setelah itu kita bisa menebak ke mana arah argumentasi mereka yang memang sering nampak primitif itu.
Kalau diperhatikan, anggapan negatif Islam Nusantara berasal dari mereka yang sangat fanatik Arab. Lebih sering menggunakan kata ana-anta dibanding saya-kamu, meski cuma itu kosa kata bahasa arab yang mereka ketahui.
Islam ya Islam, tidak ada Islam Nusantara. Nabi Muhammad asli mana? Arab kan? Saya mencintai budaya Arab karena Nabi turun di sana, masalah? Kalau mau Islam Nusantara, nanti kalian baju ihramnya ganti pakai kebaya atau batik. Tentu masih banyak lagi ocehan teman-teman yang menentang Islam Nusantara, mulai dari Mamah Dede, kader Partai Sapi Sejahtera sampai Kompasianer Mabuk Permanen (KMP).
Awalnya terdengar lucu, namun belakangan terlihat makin salah kaprah. Islam datang dengan damai, menyatu dengan budaya dan tidak mengkafir-kafirkan yang sudah bersyahadat.
Saya tertarik untuk mendengar kesimpulan Prof. Quraish Shihab menanggapi Islam Nusantara. Seperti banyak cendikiawan, beliau enggan untuk sebatas pro kontra, melainkan fokus pada substansi budaya dan memberi penjelasan yang mencerahkan bagi kita. Akulturasi antara budaya dan agama dapat dikategorikan menjadi tiga, menolak, merevisi atau membenarkan.
Kadang Islam menolak budaya yang ada, budaya yang bertentangan dan tidak baik. Dahulu perempuan Makkah lebih dulu berhubungan seks dengan 10 lelaki, lalu kalau hamil, dia bisa memilih salah satunya menjadi suami. Namun ada juga yang melalui proses lamaran, membayar mahar dan persetujuan dua keluarga. Islam kemudian menolak yang pertama dan menerima yang ke dua.
Kadang Islam merevisi budaya yang sudah ada. Sebelum Islam datang, orang Makkah sudah melalukan ritual thawaf mengelilingi ka'bah dengan telanjang, untuk melambangkan kesucian. Lalu direvisi menjadi memakai pakaian ihram.Â
Kadang Islam menerima sepenuhnya. Seperti budaya pakaian Arab, lelaki berjubah, perempuan berjilbab.
Begitu juga seperti yang dilakukan oleh Walisongo menanggapi budaya memberi sesajen, direvisi menjadi tasyakuran. Budaya Nyadran yang mengalirkan kerbau ke pantai juga direvisi menjadi kepalanya saja yang dihanyutkan. Budaya ini kemudian diartikan sebagai wujud syukur dan peduli pada sesama. Inilah contoh ulama masa lalu dalam menerapkan dakwah dengan cara-cara yang damai sehingga Islam dianut oleh mayortas masyarakat Indonesia. Tentu tidak bisa dibayangkan jika Walisongo dulu menerapkan dakwah ala PKS, HTI dan FPI. Dikit-dikit kafir, bid'ah, harus pakai sorban, jubah karana sunnah, jilbab harus panjang (sebagian yang mengaku ustad, memanfaatkan, melabeli produknya sebagai jilbab syarie). Mungkin sampai sekarang Islam tidak akan menjadi agama mayoritas di Nusantara.
Di Madura sendiri saat ini masih dalam nuansa lebaran ketupat. Lebaran yang merupakan perayaan setelah puasa Syawal. Perayaanya dengan makan ketupat dan opor ayam, petik laut, lomba kebudayaan lokal yang semua dana, penyelengara dan tempatnya hasil patungan bersama. Lebaran ketupat ini juga dirayakan di beberapa tempat di tanah Jawa. Lalu kalau Mamah Dedeh curhat tidak ada lebaran ketupat, lebaran ya Idul Fitri dan Idul Adha, semoga saja beliau tidak main ke Madura. Haha. Bisa lari terkencing-kencing beliau lihat tatapan sangar manusia Madura.