Prediksi atau katakanlah ancaman Fed menaikkan suku bunga sudah lama dan sering didengungkan oleh banyak pengamat, kalau tidak mau dibilang semuanya. Akibatnya pelaku pasar menerapkan banyak jaring pengaman sebagai antisipasi (apapun) keputusan Fed. Sementara mata uang dollar tak terbendung selama beberapa tahun terakhir.
Yang ditunggu pun datang, ternyata Jumat lalu Fed tidak menaikkan suku bunga (saya pernah bahas sebelumnya). Lalu apakah pelaku pasar merasa dibohongi? No. Prediksi atau analisa bukanlah ayat suci yang tidak boleh salah. Terlepas apakah ada yang emosi karena salah antisipasi dan sebagainya, tidak ada urusan.
Menariknya, sehari sebelumnya, Kamis, data ekonomi Amerika rata-rata di zona hijau, melampaui ekspektasi. Namun karena was-was esok harinya ada pengumuman kenaikan suku bunga, pasar merespon negatif, dalam gambar pair EUR/USD naik, batang hijau. Lalu merah sebagai koreksi biasanya tanda kembali naik (hijau). Fed akhirnya tidak menaikkan suku bunga, sekitar jam 2 dinihari waktu Indonesia. Pasar merespon perlemahan dollar. Rupiahpun bergerak gila di 14,450-14,320 dalam hitungan menit.
[caption caption="dokpri"][/caption]
Namun itu hanya sementara. Setelah pihak-pihak terkait memprediksi suku bunga mungkin akan naik Desember (semula prediksi Januari), pasar langsung merespon (perhatikan gambar). Itulah Amerika. Mereka bisa membentuk sentimen dengan begitu mudahnya.
Alasan Fed masih menunda kenaikan suku bunga adalah: tingkat inflasi dan pengangguran masih di bawah prediksi. Sehinggalah penundaan ini masih menjadi ancaman dan kembali membuat banyak pengamat kembali berpikir dan menghitung.
Sekilas nampak sederhana, kenaikan suku bunga dapat menguatkan mata uang apapun. Tidak hanya dollar yang merupakan mata uang perdagangan dunia, tapi Indonesia dengan rupiahnyapun pernah merasakan kedahsyatan kenaikan suku bunga.
Tahun 98 di mana krisis ekonomi dunia terjadi, Indonesia sedang dalam krisis politik. Kerusuhan dan demo besar-besaran menjadi awal cerita turunnya Soeharto dari singgasana Presiden. Satu hal yang membuat saya kagum dengan beliau (terlepas hutang negara, korupsi dan sebagainya) Soeharto percaya penuh dengan Habibie. Beliau sebagai mantan Presiden mundur sempurna tanpa provokasi bahkan tanpa nasehat apapun terhadap penerusnya.
Ada satu hal yang menarik jika berkisah tentang Presiden Habibie, yang kecerdasannya tak perlu diragukan lagi. Yaitu cerita tentang mata uang rupiah yang anjlok hingga 16,500 per dollar bisa ditekan hingga 6,500 dalam setahun.
Rupiah di bawah Presiden Jokowi yang sepertinya tak berdaya menahan laju dollar hanya bisa pasrah, meski sempat beberapa kali lakukan intervensi. Pagi ini dollar berada di kisaran 14,600 terhadap dollar. Lalu jika mengingat Habibie, tentu saja ada sekelompok masyarakat yang ingin sentuhan ajaib Habibie. Mereka mau rupiah menguat, dengan alasan karena kita masih banyak impor dan mereka mau barang murah. Karena harus diakui tahu tempe dalam negeri juga terkena imbas dollar.
Tapi melihat pola pikir yang rasanya sangat (atau terlampau) sederhana itu, saya jadi cukup tergelitik untuk memulai menuliskan artikel berseri dengan judul "Berpikir Rumit ala Alan Budiman."