Entah karena apa saya kemudian ditunjuk sebagai sekjen DPPLN Malaysia oleh salah satu partai di Indonesia. Awalnya saya hanya diajak teman untuk dinner dengan beberapa anggota DPR yang kebetulan berkunjung ke Kuala Lumpur. Teman saya ini kemudian menjadi ketuanya, karena dialah 'otak' dari semua ini.
Kami berkenalan satu sama lain, ngobrol tentang banyak hal sampai akhirnya membicarakan banyaknya kasus tenaga kerja ilegal. Mengingat banyak saudara sekampung yang bermasalah, saya mendadak antusias dan serius berfikir tentang solusi yang bisa dilakukan.
"Ayo disampaikan aja, biasanya mahasiswa punya banyak ide. Kalau dirasa memungkinkan, akan kami bantu pelaksanaanya" ujar salah satu anggota dewan yang hadir malam itu.
Pertemuan ini berakhir dengan rencana yang nantinya masih akan didiskusikan dengan rekan mereka yang lain.
Ketika ada instruksi dari Jakarta agar kami segera mengajukan proposal terkait dana penyelenggaraan, tujuan, jadwal acara dan lain sebagainya saya sempat berniat mengundurkan diri. Membathin bahwa seharusnya saya ga boleh masuk area politik dengan alasan yang sangat pribadi. Tapi show must go on.
Proposal itu tetap dibuat dan para dewan tersebut kembali datang ke Kuala Lumpur. Dinner ke dua kalinya ini lebih ramai, dengan full team calon pengurus partai.
Dalam obrolan yang lebih akrab dari sebelumnya, teman-teman dari DPR tersebut tiba-tiba menasehati kami. Nasehat yang menjawab kegundahan bathin saya sebelumnya.
"Kalau ada yang berfikir politik itu kotor, kalian benar. Tapi sekarang kita ketemu untuk melakukan sesuatu yang kebetulan bisa laksanakan. Jadi mari berfikir ini adalah aksi sosial, berkarya untuk mereka yang membutuhkan" kata salah satu anggota dewan yang sejak awal ketemu memang lebih formal dan sistematis.
Kemudian ditambahi oleh rekanya yang terlihat lebih santai dan gaul "jadi kalian ga usah mikirin kampanye dan sebagainya. Itu urusan kami. Toh sekarang masih 2011. Anggap saja kami pemberi dana, bukan politisi"
Dari sinilah ide gila ini benar-benar terealisasi. Kami menyewa gedung untuk khusus pelayanan paspor bersubsidi, bekerja sama dengan salah satu agen resmi pengurusan visa di Malaysia. Karena waktu itu memang ada program pemutihan/amnesti dari kerajaan. Awal idenya adalah para TKI cukup membayar harga paspor, visa dan sebagainya, sementara upah jasa nanti dibantu oleh partai. Harga sangat murah tentunya dibanding meminta bantuan calo jalanan.
Pelaksanaanya, pada momen ini selain peresmian gedung pelayanan TKI, sekaligus ditambahi acara pelantikan pengurus DPPLN cabang Malaysia yang dihadiri oleh pimpinan partai.
Hampir semuanya berjalan sesuai rencana, kemudian ada tambahan dana pendidikan untuk anak-anak TKI ilegal di Subang. Mereka ini banyak yang ga bisa sekolah karena masalah administrasi. Ga ada dokumen, ga ada biaya. Guru resmi di sekolah ini cuma 1 orang, diutus oleh pemeritah. Beruntunglah ada sukarelawan dari mahasiswa yang mau mengajar meski dengan upah ala kadarnya. Di sinilah kami salurkan sumbangan dari pimpinan partai, sekaligus berupa buku yang memang dibawa dari Jakarta.
Saya terharu ketika anak-anak itu menyanyikan lagu Indonesia Raya menyambut saya yang waktu itu datang berdua dengan ketua. Oh iya, saya ini kelahiran tahun 90, dan teman saya 87. Tentu masih sangat bocah. Saya sempat merasa ga pantas, tapi para wali murid dan semua guru menyambut dengan hangat.
Yang mengharukan adalah kepala sekolahnya merupakan warga Malaysia. Perizinan, sewa gedung dan sebagainya semua atas nama dia.
"Saya memang malaysian, tapi merah-putih adalah bagian dari keluarga kami. Maaf kalau masih banyak kekurangan, hanya ini yang bisa saya usahakan" ucapnya di sela-sela diskusi tentang kekurangan dan kendala yang ada.
Sekolah ini memang hanya mampu menampung puluhan orang. Sementara di luar sana ada ratusan anak-anak tanpa status yang ga bisa sekolah. Lahir di Malaysia, bukan warga negara Malaysia tapi tidak memiliki dokumen sebagai warga Indonesia.Selain itu kami juga punya kenalan warga Malaysia yang punya akses untuk 'memaafkan' TKI yang tertangkap karena tak memiliki dokumen. Mereka ini bisa dibebaskan asal belum dimasukkan dalam list deportasi, dan tertangkap karena ga ada dokumen. Kalau ada tindak pelamggaran lainya, ga bisa.
Sempat kami hendak membebaskan beberapa orang TKI, tapi sudah ga bisa karena pada saat kami datang mereka sudah mau dipulangkan.
Mata saya panas nyaris meneteskan air mata meilihat mereka memohon untuk tidak dipulangkan. Ada ibu dan anaknya menangis ga mau beranjak dari tempatnya. Duduk memegangi tiang penyangga kabel. Petugas imigrasi tak bisa berbuat banyak. Membentak, menasehati sampai membujuk agar ibu itu naik ke truk, tetap saja ibu itu tak bergeming.
Waktu itu saya tau, ada banyak warga kita yang ga mau pulang ke negaranya sendiri.
Kami sempat menego agar bisa dimaafkan, tapi katanya nama mereka sudah dalam sistem. Karena sudah ga ada kemungkinan berhasil kami memilih pulang, ga kuat melihat kejadian semacam itu.Setiap ada program amnesti, KBRI selalu 'banjir' manusia. Kondisi yang mengharuskan pihak kedutaan merekrut staf dadakan untuk membantu mereka memberikan pelayanan.
Untuk program ini, semua loket di KBRI hanya buka untuk urusan yang berkenaan dengan amnesti, selain itu diliburkan untuk sementara. Meski wisma duta juga dijadikan tempat pelayanan untuk puluhan loket baru, tetap saja jumlah warga yang datang selalu lebih banyak dari yang bisa dilayani. Sehingga KBRI menetapkan perharinya hanya ada 3,000 nomer antrian perhari. Mereka yang tidak dapat nomer harus mengantri lebih pagi keesokan harinya.
Pernah kami baru keluar pukul 11 malam, dan terenyuh ketika melihat sudah banyak orang mengantri di depan loket pengambilan nomer antrian. Mereka berbaris dengan posisi duduk atau berbaring. "Sebegini tragiskah perjuangan mereka?"
Banyak orang nanya apa yang kami dapat? Kami juga ga tau. Partai memang tidak menggaji, tapi ketika kami punya jalan untuk membantu, pasti kami lakukan. Dan harus diakui, atas nama partai kami bisa bertemu dan ngobrol dengan pejabat seperti imigrasi, kementrian dalam negri dan baru-baru ini dengan DPRnya terkait masalah TKI ilegal. Hal yang membuat saya berfikir kalau kita memang harus punya 'kendaraan untuk melakukan hal lebih banyak lagi.
Sengaja tidak saya sebut nama partainya, karena takut dikira pencitraan atau disuruh partai. Kenapa baru ditulis sekarang? Soalnya diingetin freez, hanya ikut meramaikan dan berbagj cerita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H