Mohon tunggu...
Alan Budiman
Alan Budiman Mohon Tunggu... profesional -

Pemilik akun ini pindah dan merintis web baru seword.com Semua tulisan terbaru nanti akan diposting di sana. Tidak akan ada postingan baru di akun ini setelah 18 November 2015.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Segelas Bakti untuk Negeri

11 September 2014   17:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:00 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_341984" align="aligncenter" width="300" caption="kompasiana freez (lupa edisi apa)"][/caption]

Sungguh tidak berharga pemberianmu pada negara ataukah sungguh sungguh tidak dihargai pemberianmu oleh negara? Jangan tanya apa yang negara ini berikan untukmu namun tanyakan apa yang kamu berikan untuk bangsa ini? (JFK)

Jika ditanya apa yang sudah kuberikan untuk Indonesia? Sepertinya belum ada. Saya bukanlah peraih juara di olimpiade yang mengibarkan merah putih, bukan pula pakar tekhnologi layaknya Habibie. Tapi mungkin inilah sedikit cerita tentang sesuatu yang pernah dan akan terus saya lakukan, sebagai tanda cinta serta bakti pada negeri ini.

Banyak orang menyangka, bahwa masalah imigran asal Indonesia di Malaysia hanya sebatas masalah pekerja ilegal, deportasi, dan perlakuan tidak baik dari majikan. Padahal, permasalahan yang ada jauh lebih kompleks dari itu semua.

Seperti yang pernah saya tuliskan di SINI tentang nasib anak-anak dari pasangan suami-istri TKI ilegal yang ga bisa bersekolah karena tidak memiliki identitas. Bersekolah di sekolah Malaysia pastilah ga bisa, bersekolah di SIK juga pasti terkendala. Maka muncullah sekolah di tengah-tengah komplek pertokoan, layaknya lembaga kursus. Namun di dalam adalah anak-anak yang belajar sesuai kurikulum sekolah dasar. Beberapa teman mahasiswa ada yang menjadi pengajar di sela-sela kesibukannya. Saya pribadi hanya dua kali menemui anak-anak itu, saat memberi bantuan dana pendidikan. Karena lokasi kampus dan sekolah sangat jauh dan tidak memungkinkan untuk bolak-balik mengajar. Untuk cerita lainya, mungkin sebaiknya diklik saja link yang saya tautkan di atas, agar tulisan ini tidak seperti tulis ulang.
Hal lain yang pernah saya dan teman-teman lakukan adalah memulangkan jenazah TKI ilegal. Hal ini sungguh cerita paling menantang emosi, karena kami menjadi mediator antara dua pihak yang sama-sama 'keras kepala'. Pihak keluarga korban yang sudah marah-marah karena jenazah ditunda pemulangannya sebab ada dokumen yang ga lengkap, dan pihak staff KBRI yang meminta agar dokumen dilengkapi kemudian dikirim lagi. Selengkapnya bisa baca di SINI. Bisa dibayangkan, untuk urusan sedarurat pemulangan jenazah WNI masih saja harus melewati birokrasi yang terkesan terlalu kaku.

Masih tentang birokrasi yang menyengsarakan, cerita ini muncul dari pengalaman menemani paman yang berurusan dengan staff 'mabuk' KBRI. Bisa dibaca di SINI beliau sempat putus asa dengan pengalaman pernah tidak dilayani oleh KBRI hanya karena dokumen pelengkap tidak punya, padahal KTP sudah cukup bisa meyakinkan bahwa beliau adalah WNI dan layak untuk mendapat SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor).

Dari kejadian tersebut saya menjadi sadar, bahwa banyaknya calo bukanlah salah si calo. Tapi karena memang ada permintaan, sesuai hukum ekonomi. Bayangkan saja, jika ada A dan B yang sama-sama memiliki identitas terbatas, si A ditolak dan disuruh pulang (mengurus sendiri) sementara si B berhasil, berkat jasa calo. Lantas siapa yang salah kalau sudah begini?

Itulah sepenggal cerita dari perjalanan hidup yang sarat emosi. Masih banyak lagi hal-hal yang belum diceritakan seperti: Pernah ada TKW dan anaknya berumur sekitar 3 tahun, yang ditelantarkan suaminya asal Malaysia. Kami bertemu dengannya di KBRI. Beliau kabur dan tak tau harus berlindung di mana kecuali masuk ke gedung KBRI. Tujuannya hanya satu: pulang.

Ceritanya, beliau ini memohon pekerjaan dan tempat tinggal untuk mengumpulkan uang agar bisa pulang ke Indonesia. Namun di KBRI semua orang sudah dengan masalahnya masing-masing. Sudah banyak orang seperti beliau yang datang ke KBRI meminta hal yang sama. Kalau diakomodir, pasti akan banyak orang yang datang, begitu menurut salah seorang staf.

Bukan mau sok jadi pahlawan kesiangan, tapi saya berpikir bahwa ketika beliau datang ke KBRI, itu artinya beliau memang sudah tidak punya kenalan atau teman untuk dihubungi. KBRI adalah ikhtiar terakhir. Jujur saya ga tega membiarkan beliau terlantar. Ibu-ibu muda dengan paras menarik dan anak kecil di pusat kota. Banyak kemungkinan negatif yang sudah menunggu.

Setelah menimbang, saya dan Adi teman serumah setuju kalau beliau ini sementara bisa menginap di rumah kami dan bekerja di restoran sekitar apartemen. Beliau menempati kamar saya, sementara saya tidur di ruang tamu seperti yang sudah sering dilakukan.

Selain ibu muda tersebut, ada juga beberapa orang TKI yang sempat menempati rumah kami dengan kasus yang sama. Selama itu berlangsung banyak suara sumbang yang kadang menyulut emosi. Tapi mungkin memang ada benarnya apa kata mereka: Kerjaan yang ga ada gunanya! Buang-buang waktu! Bukannya untung malah tekor!

Dari segi materi, kami memang tidak mendapat apa-apa. Tapi mungkin inilah jejak sejarah yang bisa kami lakukan sebagai warga negara Indonesia. Terserah orang mau bilang apa, yang jelas hanya ini yang saya bisa bagikan kepada sesama.

Dengan hadirnya pemerintah yang baru, besar harapan kami agar Jokowi sebagai presiden mampu menuntaskan masalah ini hingga ke akarnya. Untuk itu semua cerita yang kami lalui, dari permasalahan sampai solusi sengaja saya tuliskan dalam bentuk novel.

Memang sebelumnya naskah tersebut sudah ditolak oleh 1 penerbit, namun kemudian saya ajukan lagi ke penerbit yang lain. Entah apakah segmentasi pasar penerbit sebelumnya tidak cocok, atau memang tulisan saya yang tidak bagus. Yang pasti, saya akan berusaha agar buku tersebut bisa segera terbit. Meski mungkin tidak akan seefektif blusukan Jokowi, setidaknya sudah cukup memberi gambaran secara umum permasalahan yang ada.

Pada akhir tulisan ini saya ingin mengajak satu aksi nyata yang sangat bisa kita lakukan untuk membantu saudara pahlawan devisa kita. Yaitu diam. Para TKI itu sudah banyak memikul beban, jadi tolong jangan dikomentari negatif. Jika tidak mampu memberi mereka pekerjaan di sini, mohon jangan ada lagi pembakaran bendera Malaysia dan komentar negatif lainnya. Karena apa yang kita lakukan di sini, akan berimbas pada mereka di sana. Kalaupun mau bersuara, suarakan kekesalanmu pada pemerintah di negeri ini, bukan pada negara lain.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun